Oleh: Elva Yusanti
Abstrak
Pendekatan sosiologi sastra dapat diaplikasikan melalui perspektif teks sastra, yakni karya sastra dianalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Abrams tentang sastra sebagai cermin masyarakat. Sebagai suatu cermin, trilogi Darah Emas menyajikan potret kehidupan masyarakat Tionghoa-Jambi yang sudah direka pengarang melalui medium bahasa. Masyarakat Tionghoa-Jambi dimanifestasikan melalui nama-nama tokoh, sikap hidup, dan peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Kata kunci: perspektif teks sastra, refleksi, dan cermin masyarakat
abstract
Literary sociology approach can be applied through literary text perspective, in which literary works analyzed as a reflection of sociallife. It is connected with Abrams statement about literary as a society mirror. As a mirror, trilogy of Darah Emas gives portrait of Tionghoa-Jambi society life invented by the author trough language. Tionghoa-Jambi society was manifested through character’s names, life behaviour, and the told events.
Keywords: literary text perspective, reflection, and society mirror
1.Pendahuluan
Trilogi novel Darah Emas (Tansri, 2010) menceritakan usaha penyelamatan situs Kemingking, sebuah daerah temuan benda purbakala berupa reruntuhan (puing-puing) kerajaan kuno. Dinamakan situs Kemingking karena benda-benda purbakala itu ditemukan di sekitar wilayah Kemingking, sebuah desa kecil yang terletak di sebelah barat Sungai Batanghari, Jambi. Lokasi situs ini diyakini berada persis di bawah bangunan pabrik kayu lapis milik seorang pengusaha lokal keturunan Tionghoa. Pembangunan pabrik tersebut menimbulkan pro dan kontra karena selain menyebabkan terkuburnya sebuah aset budaya, juga melatarbelakangi terjadinya pencemaran lingkungan, penebangan liar, dan perburuan ilegal. Keadaan ini membuat Naga, roh langit dan bumi, murka. Ia menumpahkan murkanya kepada orang-orang yang merusak keseimbangan alam itu melalui keturunannya yang disebut ”berdarah emas”. Orang-orang berdarah emas merupakan keturunan Naga dari etnis Tionghoa yang berusaha menyelamatkan peninggalan leluhurnya. Selain klan darah emas, penyelamatan juga dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat yang peduli dengan pelestarian budaya dan lingkungan hidup. Mereka saling bekerja sama untuk satu tujuan, mengembalikan alam kepada keseimbangannya.
Trilogi Darah Emas (selanjutnya disingkat DE) ditulis oleh Meiliana K. Tansri, perempuan pengarang kelahiran Jambi dan berdarah Tionghoa . Trilogi novel ini terdiri atas tiga judul: Mempelai Naga (MN), Gadis Buta dan Tiga Ekor Tikus (GBTET), dan Sembrani (Sbr) . Ketiga novel ini dapat dikatakan sebagai dokumen yang mencatat realitas yang terjadi pada masa lalu karena diangkat berdasarkan polemik sosial yang pernah terjadi di Jambi pada tahun 1980-an. Dengan memanfaatkan latar sosial masyarakat Tionghoa dan Jambi –dua komunitas yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya- Meiliana mendongengkan fakta dan peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Jambi ke dalam karyanya. Oleh Meiliana, bahasa dijadikan alat untuk menyampaikan ide, pesan, tema, dan pandangan dunia yang berfungsi sebagai media catatan kritisnya mengenai peristiwa yang bersangkutan.
Salah satu yang menarik dari trilogi ini adalah cerminan (refleksi) masyarakat Tionghoa-Jambi yang dideskripsikan melalui tokoh-tokoh cerita, sikap hidup para tokoh, dan peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Masyarakat Tionghoa-Jambi yang dimaksud di sini adalah masyarakat Tionghoa yang menetap di daerah Jambi. Pembauran antara orang Tionghoa –sebagai masyarakat pendatang- dan orang Melayu Jambi, sebagai penduduk lokal, menunjukkan bahwa kedua etnis memiliki keterikatan secara emosional. Hal ini dapat dimaklumi karena sejak dahulu, masyarakat Melayu Jambi sudah memiliki sejarah simbiosis yang cukup panjang dengan etnis Tionghoa. Melalui catatan yang terdapat dalam kitab sejarah diketahui bahwa bangsa Cina telah melakukan beberapa kali kunjungan ke Jambi. Kontinuitas kunjungan seperti itu akhirnya memberikan peluang simbiosis kultur dan hubungan etnis dalam kadaran tertentu (Noor, 2007:171). Selain itu, temuan situs purbakala berupa candi dan artefak yang bertuliskan aksara Cina, sebagai bukti keberadaan orang Tionghoa di Jambi, semakin menguatkan hubungan antara kedua etnis sehingga tidak berlebihan apabila masyarakat Tionghoa sudah diakui menjadi bagian dari komunitas Melayu Jambi. Keharmonisan hubungan antara masyarakat Tionghoa dan Melayu Jambi juga dapat diketahui dari belum adanya kejadian atau sejarah yang mencatat adanya konflik ”berdarah” sesama mereka. Kedatangan etnis Tionghoa di daerah Jambi, di samping etnis pendatang lainnya, telah menambah jumlah penduduk, mengubah komposisi penduduk, dan membentuk masyarakat yang plural. Mereka melakukan proses integrasi sehingga generasi berikutnya mengidentifikasikan diri sebagai orang Melayu Jambi (Lindawati dkk, 2010).
Sumber: Jurnal Mlangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...