Selasa, 31 Mei 2016

Aspek Formatif Hegemoni Gramsci dalam Cerpen "Sket" Karya Putu Wijaya

Oleh: Heru Kurniawan
Abstrak

Ideologi kemanusiaan merupakan penyemen pada relasi antarkelas sosial dalam masyarakat desa. Ideologi kemanusiaan menjadikan kehidupan antarkelas sosial masyarakat desa harmoni. Konflik sosial muncul saat kelas atas melakukan tindakan dehumanisasi terhadap kelas bawah yang berupa tindakan represif.
Tindakan represif membuat humanisme sebagai sistem pengetahuan masyarakat desa hilang sehingga terjadi aliansi melalui demonstrasi kelas bawah terhadap kelas atas. Representasi ini mengacu pada model hegemoni pemerintahan orde baru yang materialis, mengedepankan pembangunan materi di atas segala-segalanya. Tolok ukur hidup dan pembangunan berorientasi pada ekonomi. Keadaan ini menjadikan masyarakat terhegemoni konsepsi dunia material yang menjadikan korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi budaya dan sistem pengetahuan masyarakat orde baru.
Kata Kunci: Hegemoni, Ideologi, Kelas Sosial, dan Humanisme.

Abstract

Humanism ideology is glued  in social interclass relationship in a village community. The ideology make the life is in harmony. the social conflicts arise when the upper class make dehumanism deeds toward the lower especially the repressive ones. This repressive deed make the humanism in the villagers knowledge system is lost. as a result make an ally through the lower class protest toward the upper. This representation refers to the hegemony model in orde baru regime in which the materialism becomes the most important matter shown by the material development is the everything. The life and the development stake are based on the economic orientation. this situation makes the society were stucked in the material conception. as the results corruption, collusion and nepotism become cultures and a system of knowledge in orde baru regime.
Key words: Hegemony, ideology, social classes, and humanism.

1. Pendahuluan
Sebagai produk sosial budaya masyarakat, karya sastra adalah dunia yang kompleks yang selalu menampilkan persoalan dan konflik sosial antarkelas sosial. Hal ini terjadi karena karya sastra ditulis oleh pengarang yang merepresentasikan kelas sosial yang hidup di tengah masyarakat. Pengarang pun, dengan kemampuan imajinasinya, mengolah dan memodifikasi ideologi kelas sosialnya dalam karya sastra, yang menurut Gramsci, karya sastra selalu menampilkan dirinya sebagai dunia yang sarat dengan ideologi politik kebudayaan sebagai representasi kelas sosial yang telah diolah dengan individualitas penulisnya. Hal ini menunjukkan karya sastra adalah produk individual penulis yang memiliki dimensi sosial, yaitu sebagai representasi ideologi kelas sosial.

Dalam hal ini, karya sastra pun menarik untuk dikaji dimensi aspek-aspek sosialnya, yang pada tulisan ini akan membahas aspek-aspek sosial hegemoni Gramsci dalam cerpen “Sket” karya Putu Wijaya. Perspektif hegemoni ini mengarahkan kajian sosial dalam cerpen “Sket” bertolak dari persoalan sejauh mana aspek-aspek formatif hegemoni Gramsci ada dalam struktur cerpen sebagai representasi ideologi penulisnya. Dengan menggunakan perspektif sosiologi sastra,  praktik-praktik hegemoni-dominasi dalam cerpen “Sket” ini bisa merefleksikan keadaan dan persoalan sosial massa yang diacu oleh cerpen.

Dalam bahasa Yunani, hegemoni disebut juga ‘eugemonia’ yang menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polis) secara individual, misalnya yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993: 73). Berdasarkan pada konteks sejarahnya, konsep hegemoni pertama kali diproduksi pada tahun 1880 oleh Plekanov dan pengikut Marxis lainnya di Rusia untuk menunjukkan perlunya kelas pekerja dalam usaha membangun aliansi dengan kelas petani dengan tujuan untuk meruntuhkan gerakan bangsa Tsarisme (Bocock, 2007). Namun, bagi Gramsci, konsep hegemoni tidak sebatas pada bidang politik. Hegemoni menyangkut juga mengenai persoalan ideologi dan kebudayaan. 

Hegemoni sebagai konsep yang dikembangkan Gramsci menggambarkan bahwa dominasi suatu kelas (dominan) atas kelas lainnya (subordinat) terjadi karena aspek ideologis-politis. Meskipun paksaan politis (coersion) selalu berperan,  ideologi lebih signifikan dalam mendapatkan persetujuan secara sadar dari kelas subordinat (rakyat) (Abercrombie, 2010: 253). Keseimbangan antara paksaan (dominasi) dan persetujuan (hegemoni) itu selalu bervariasi dalam suatu pemerintahan. Namun demikian, persetujuan sadar (hegemoni) ini lebih penting dalam suatu pemerintahan. Hegemoni inilah yang menjadikan kekuasaan suatu kelas terhadap kelas lainnya bisa berlangsung. 

Hal ini menunjukkan bahwa Gramsci mengubah makna hegemoni dari sistem koordinasi dan strategi yang represif menjadi sebuah konsep, seperti halnya Marxis tentang kekuatan hubungan produksi, kelas, dan negara, dijadikan sebagai sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahnya. Adapun caranya adalah dengan konsensus bersama melalui persetujuan kultural. Gramsci mengembangkan gagasan tentang kepemimpinan dan pelaksanaannya sebagai syarat untuk memperoleh kekuasaan negara ke dalam konsep yang disebutnya hegemoni. Bagi Gramsci, hegemoni merupakan hubungan antara kelas dan kekuatan sosial lainnya. Kelas hegemonik adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dan kekuatan dari kelas sosial lainnya dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis (Simon, 2004: 22).

Gramsci (1987) menjelaskan bahwa dalam suatu kelompok sosial bisa, bahkan harus, menjalankan kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pemerintahan (hal ini jelas merupakan salah satu syarat utama untuk memperoleh kekuasaan tersebut); kesiapan itu pada gilirannya menjadi sangat penting ketika kelompok itu menjalankan kekuasaannya. Untuk menjalankan kekuasaan ini, suatu pemerintahan harus menjalankan kepemimpinan yang bersifat hegemonik (moral dan intelektual) dan kepemimpinan dominatif. Hegemoni menyangkut cara-cara yang kompleks dan menyeluruh dari praktik-praktik kultural, politis, dan ideologi bekerja untuk menyemen masyarakat menjadi satu kesatuan yang relatif walaupun tidak pernah lengkap. Yang dimaksud dengan menyemen adalah mengikat kelas-kelas yang sebenarnya bersifat antagonistik menjadi satu kesatuan yang seakan organik, rukun, dan harmonis melalui ideologi (Faruk, 2010: 135 -136).

Ideologi dalam konsepsi hegemoni memiliki peran dan kedudukan yang penting sehingga menurut Gramsci (1987) ideologi berarti lebih dari sekadar sistem ide karena ideologi membedakan antara sistem yang berubah-ubah yang dikemukakan oleh kaum intelektual dan filosof tertentu, dan ideologi organik yang bersifat historis, yaitu ideologi yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu. Sejauh ideologi itu secara historis diperlukan, ideologi mempunyai keabsahan yang bersifat psikologis karena ideologi akan mengatur manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka, dan sebagainya. Ideologi mempunyai eksistensi materialnya dalam berbagai aktivitas. Ideologi memberikan berbagai aturan bagi tindakan praktis serta perilaku moral manusia. Dengan ideologi ini individu mendapatkan konsepsi mengenai cara pandang mereka terhadap dunia dan pergerakan ideologi, menurut Gramsci, melalui medan kultural yang domian ada pada pikiran individu.

Oleh karena itu, persoalan kultural dan formasi ideologi menjadi penting dalam pemikiran Gramsci karena di dalamnya berlangsung proses yang kompleks dan rumit. Gagasan-gagasan dan opini-opini, yang bisa jadi menjadi ideologi, tidak lahir begitu saja dari otak individual, tetapi punya pusat informasi, iradiasi, penyebaran, dan persuasi (Faruk, 2010: 131 – 132). Pusat iradiasi ideologi adalah kelas sosial tertentu yang secara sengaja menyebarkan ideologi tersebut sebagai usaha untuk membangun kesetujuan bersama atau hegemonik. 

Dalam konteks ini sastra, yang menurut Marx kedudukannya sebagai lembaga sosial, menjadi salah satu bentuk dari materi ideologi. Seperti yang dikemukakan Faruk (2010: 1310) bahwa dunia gagasan, kebudayaan, dan superstruktur bukan hanya refleksi kelas ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material, melainkan juga sebagai kekuatan material itu sendiri. Sebagai kekuatan material, dunia gagasan atau ideologi berfungsi untuk mengorganisasi massa manusia, menciptakan tanah lapang yang di atasnya manusia itu bergerak. Hal ini menunjukkan bahwa sastra merupakan kekuatan materi yang di dalamnya terkandung juga ideologi yang mampu mengorganisasi massa.

Sastra lahir dalam suatu kelas sosial tertentu yang melingkupi penulisnya sehingga sastra sebagai kekuatan material di dalamnya juga mengandung ideologi-ideologi sebagai representasi kelas sosial penulis. Sastra merupakan media dalam distribusi ideologi yang berfungsi untuk membangun proses hegemoni. Sastra menjadi penting kedudukannya dalam hegemoni karena selain sastra sebagai media distribusi ideologi untuk proses hegemoni, sastra juga menampilkan sebuah dunia yang di dalamnya ada praktik-praktik hegemonik terjadi. Di sinilah sastra sebagai representasi ideologi memiliki bentuk materialnya.

Ideologi dalam sastra merepresentasikan pandangan tentang dunia penulisnya. Gramsci (1987) memandang sastrawan (penulis) adalah kaum intelektual karena memiliki kecerdasan dalam bidang estetika dan dapat menggunakan karya-karya sastra dalam fungsi sosial, yaitu untuk memengaruhi pandangan masyarakat terhadap konsepsi tentang dunia karena dalam sastra selalu ada materi ideologi. Posisi pengarang, oleh Gramsci (1987), ditempatkan sebagai kaum intelektual profesional yang bersifat “tradisional” (setipe dengan filsuf dan ilmuwan). Fungsi sosial pengarang sebagai kaum intelektual tradisional adalah mengarahkan gagasan kelas dan merepresentasikan aspirasi kelas sosialnya. Pengarang berpartisipasi dalam membangun konsepsi tentang dunia, menjaganya, maupun memodifikasi konsepsi tentang dunia tersebut dalam usaha untuk mengonstruksi dunia gagasan-gagasan dunia baru. Posisi karya sastra adalah sebuah “instrumen praksis” dari tindakan sosial pengarang dan sastra dengan sendirinya harus bersifat aktif dalam memodifikasi konsepsi tentang dunia dari masyarakat kelas sosial, tempat pengarang menjadi kaum intelektual yang mempunyai kepentingan terhadap komunitas kelas sosialnya (Anwar, 2010: 64).

Gramsci menekankan sastra sebagai dunia ideologi yang merepresentasikan pengarang (Salimi, 1981). Ideologi dalam sastra relatif bersifat statis, sedangkan estetika bersifat dinamis dalam proses sejarah dan budaya. Hal ini menunjukkan estetika akan selalu berubah dalam arus gerak pembacaan dan konteks budayanya, tetapi materi ideologi sebagai representasi kelas dan kepentingan penulisnya relatif statis. Dengan demikian, dengan melihat karakteristik karya sastra pada aspek estetikanya, karya sastra menurut Gramsci lebih bersifat sosiologis-historis yang berkaitan dengan proses distribusi hegemoni dalam menciptakan kebudayaan baru bagi masyarakat.

Sumber: Jurnal Mlangun





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...