Rabu, 01 Juni 2016

Rekonstruksi Sastra Islami dan Budaya Tanding

Oleh: Fadlillah 
Abstrak

Peradaban global seperti badai menyerang semua unsur peradaban dunia, tidak terkecuali sastra Islami. Masalah sastra dalam kebudayaan muslim dalam zaman ini adalah bagaimana merekonstruksi kembali sastra Islami dalam menghadapi peradaban global. Ini bukan hanya masalah masa lalu atau masa depan, melainkan juga adalah masalah tantangan zaman yang tidak dapat dihindari. Dalam pemecahannya sudah selayaknya umat muslim meninggalkan teoretikal lisan dan beralih pada teoretikal iqra (membaca).
Adapun metode  dalam sastra Islami tetaplah merupakan metode akhlaki karena metode ini telah terbukti sepanjang sejarah. Di samping agama memang merupakan nilai-nilai dan sastra juga nilai-nilai, bagi seorang muslim tidak mungkin nilai-nilai itu paradoksal.  Islam berhadapan dengan logika, fakta, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sastra. Hal ini merupakan realitas yang tidak dapat dihindari untuk memperbincangkan kebenaran.
Kata kunci; Sastra Islami, akhlak, globalisasi.

Abstract

Global civilization such as the storm hit all the elements of world civilization, Islamic literature is no exception. Literary problems in the muslim culture in this era is how to reconstruct the Islamic literature in facing global civilization. This is not just a matter of past or future challenges of the times but is a problem that can not be avoided. In solution, it is proper to leave theoretical muslims oral and switched on the theoretical iqra (read). The method in Islamic literature remains a akhlaki method, because this method has been proven throughout history. In addition to religion is indeed a literary values as well as the values, for a muslim is not likely that paradoxical values. Islam against logic, facts, science, technology and literature, is a reality that can not be avoided in order to thrash out the truth.
Key words: Islamic literature, morality, globalization.

1. Pendahuluan
Pemahaman tentang sastra Islam  perlu didudukkan pengertiannya. Islam merupakan ciptaan Allah, sedangkan sastra adalah amal perbuatan manusia, adapun setiap perbuatan manusia disebut budaya. Islam sebagai ajaran adalah Alquran dan sunah yang terjaga kesuciannya. Ketika diamalkan, sesungguhnya manusia muslim memproses semua kebudayaannya menjadi (to be) Islami. Menjadi Islam berarti selalu berproses dalam Islam, inilah dakwah akhlaki.

Sastra bukan alat dakwah , melainkan dakwah itu sendiri, secara batin dibuat karena Allah, sebagai ibadah kepada Allah. Dengan demikian, dasar defenisi sastra Islam adalah semua sastra di alam ini adalah Islam  kecuali sastra yang mengajak ke musyrikan, kemungkaran, kekerasan, ketidakadilan, antikemanusiaan, dan kezaliman. Berdasarkan defenisi itu ada empat kategori sastra yang hadir secara internal dalam kebudayaan Islam. Pertama, ada orang muslim yang membuat karya yang Islami dan penuh dengan aksesori ajaran agama secara eksplisit, tetapi tidak Islami secara implisit. Kedua, ada orang muslim yang membuat karya sastra yang Islami secara implisit, tetapi tidak Islami secara eksplisit. Ketiga, orang muslim yang membuat karya sastra Islami secara eksplisit dan implisit, ada yang menonjolkan secara eksplisit atau sebaliknya. Keempat, orang muslim yang membuat karya sastra tidak Islami secara eksplisit dan implisit.

Sebaliknya secara eksternal akan ada empat kategori juga. Pertama, akan ada orang nonmuslim yang membuat karya Islami secara eksplisit (bentuk luarnya), tetapi tidak Islami secara implisit. Kedua, ada orang nonmuslim yang membuat karya sastra yang tidak Islami secara eksplisit, tetapi Islami secara implisit. Ketiga, ada orang nonmuslim yang membuat karya sastra yang Islami secara eksplisit dan implisit, ada yang menonjolkan secara eksplisit atau sebaliknya. Keempat, ada orang nonmuslim yang membuat karya tidak Islami secara eksplisit dan implisit.  

Agaknya sebagai agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta) dalam Islam seluruh karya sastra di dunia adalah Islami kecuali sastra tersebut “membinatangkan” manusia (bukan memanusiakan manusia), serta sastra yang memusyrikan manusia, sastra yang mengingkari Allah. Namun, secara umum semua akan berpijak pada kredo bahwa tidak akan ada secara mutlak sastra Islami yang sepenuhnya, juga tidak akan ada sastra yang sepenuh mutlak adalah tidak Islami, baik yang dibuat oleh orang muslim maupun yang nonmuslim. Hal ini disebabkan dalam karya sastra akan selalu terjadi konflik tokoh jahat dan tokoh baik, penuh dengan persoalan-persoalan yang bersifat manusiawi, bersifat malaikat, bersifat iblis, bersifat ketuhanan, dan dalam karya sastra  semua itu terjalan dalam satu kesubliman.

Berdasarkan pengertian tersebut sastra Islami jelas akan hadir secara alamiah dari orang muslim. Sederhananya karya sastra Islami akan selalu hadir dalam peradaban muslim. Akan sangat aneh bila dikatakan sastra Islami tidak ada di tengah-tengah kebudayaan muslim, mungkin akan naif sekali. Artinya, bukan tidak mungkin orang-orang muslim itu secara hakikatnya sudah meninggalkan keyakinan dan ajaran agama mereka. Bagaimanapun karya sastra dan kebudayaan secara menyeluruh dilahirkan dan dijiwai oleh keyakinan, ideologi, dan agama. Jiwa demikianlah yang akan mewarnai dan mengukuhkan eksistensi karya sastra tersebut.

Tidak pada tempatnya bila dikatakan sastra Islami tersebut adalah karya sastra yang berbahasa Arab dan dilahirkan oleh bangsa Arab. Oleh karena itu, karya sastra yang Islami (1) tidak terikat dalam pengertian bahasa yang harfiah, (2) tidak terikat oleh ikatan bangsa (etnik), dan (3) tidak terikat oleh pengertian geografi. Oleh karena itu, realitas demikian akan berlaku secara alamiah dan tumbuh menjadi suatu peradaban yang egaliter dan demokrat. Peradaban Islami merupakan peradaban yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang berpusat kepada monoteisme, bagaimanapun juga akan berbeda dengan kebudayaan dan sastra yang juga menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang berpusat pada politeisme.

Sebagaimana pandangan Kassim Ahmad (1987:53-74) barangkali perlu dicermati bahwa penggalian ilmu pengetahuan teori sastra sangat penting, sebagaimana juga tidak jauh berbeda dengan Ismail Hamid (1987:viii) bahwa bagaimana dakwah dalam Islam melahirkan sastra Islam Melayu. Di Indonesia,  pada awalnya, pengembangan Islam pun dengan sastra dan seni budaya rakyat sebagaimana yang dilakukan  Wali Songo di Jawa, kemudian Syeikh Burhanuddin di Minangkabau. Islam hadir tidak dalam bentuk resep ajaran kekerasan, tetapi suatu pengadaptasian Islam yang Islami secara persuasif sehingga di Minangkabau sampai hari ini (di samping sastra modern) masih berkembang syair Selawat Dulang, syair Bataram, hikayat yang dikenal dengan nama Kaba.  

Barangkali tepat apa yang dikatakan oleh Emha Ainun Nadjib (Horison/XVIII/243–Juni 1984) bahwa amat banyak tuntutan untuk berkreativitas kesenian di dalam Alquran dan alhadis. Allah tidak mengajarimu bikin sepeda atau aljabar, tetapi Ia menyuruh kita untuk memikirkan dan mewujudkan ayat-ayat-Nya yang berada di alam semesta dan di dalam diri kita (Q.S.41:53). Dengan demikian, dapat dikatakan sumber penciptaan karya sastra bagi sastrawan muslim yang pertama adalah Alquran dan sunah, kedua masyarakat, dan ketiga adalah alam. Wisran Hadi, dalam menulis karyanya dapat dikatakan adalah hasil studi mendalam terhadap Alquran sehingga menghasilkan naskah drama Tuanku Imam Bonjol, Perguruan, Jalan Lurus, Yassin,  dan lain-lain. Begitu juga A.A. Navis menghadirkan karya sastranya dengan studi tekun terhadap kondisi masyarakat muslim (Minangkabau) sehingga lahirlah karya yang terkenal Robohnya Surau Kami, Novel Kemarau, dan lain-lain. Sebagaimana juga Hamka dengan Tenggelamnya Kapal van der Wijk dan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Adapun pengarang termuda di Minangkabau pada hari ini adalah Gus tf Sakai dengan novel Tambo Sebuah Pertemuan, Ular Keempat. 

Sumber: Jurnal Mlangun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...