Oleh: Maizar Karim
Abstrak
Teks “Tan Telanai” adalah karya sastra klasik Melayu Jambi yang tergolong sastra sejarah. Teks ini popular di kalangan masyarakat Melayu. Sebagai peninggalan budaya masa lampau, saat ini teks “Tan Telanai” berada dalam kondisi ‘gelap’. Padahal karya ini menyimpan berbagai nilai budaya dan nilai sejarah. Penelitian ini melakukan analisis teks ”Tan Telanai” dengan Metode Struktural Levi-Strauss.
Berdasarkan analisis struktural tersebut cerita ini terdiri atas tiga ceriteme yang memperlihatkan satu kesatuan yang bermakna. Secara sintagmatik ini merupakan struktur yang mengungkapkan mitos, dongeng, atau dunia rekaan, sedangkan secara paradigmatik mencerminkan realitas, kenyataan sosial budaya, dan karakteristik tokoh atau kelompok etnis suatu masyarakat tradisional tertentu. Karya sastra ini menempati fungsi tersendiri dalam khazanah budaya Melayu Jambi. Meskipun secara sintagmatik memiliki unsur yang bersifat kontramitos dan paradoks dengan karakteristik etnis Melayu, tetapi secara paradigmatis memperlihatkan sistem refraksi yang menyimpan berbagai nilai, baik pada tataran fundamental, seperti nilai pendidikan, nilai pengukuhan pranata budaya dan pengawasan norma, maupun pada tataran instrumental, sebagai medium pencerminan angan-angan masyarakat pada suatu zaman.
Kata kunci: Sastra sejarah, struktur sintagmatik, struktur paradigmatik, dan nilai budaya
I. Pengantar
Salah satu penanda sastra Melayu Jambi adalah sastra yang disampaikan dengan bahasa Melayu Jambi. Apabila dikaji lebih jauh, pengertian sastra Melayu Jambi bukan hanya sastra yang menggunakan bahasa Melayu Jambi sebagai alat komunikasinya, tetapi juga hasil kreativitas manusia atau masyarakat Jambi dengan berbagai ragam bentuk sastranya. Sastra Melayu Jambi adalah semua karya sastra, baik lisan maupun tulisan yang digunakan, diselamatkan, disimpan, dan dipelihara oleh masyarakat Jambi yang mendukungnya. Sastra Melayu Jambi mencerminkan kreativitas mental masyarakat Jambi yang diwujudkan dalam bentuk sastra, baik berupa prosa, seperti mite, legenda, dongeng, hikayat, kisah, dan cerpen, maupun puisi, seperti pantun, syair, seloka, petatah-petitih, dan lain-lain.
Sastra Melayu Jambi klasik terwujud dalam bentuk naskah yang disebut naskah Melayu Jambi. Pengertian naskah Melayu Jambi ini dapat mengacu kepada pendapat yang dikemukakan Ekadjati (dalam Niampe, 2002) dalam mendefinisikan naskah-naskah Sunda, yaitu naskah-naskah yang disusun dan ditulis di wilayah Sunda (Jawa Barat) dan naskah-naskah yang berisi uraian atau cerita yang bertalian dengan wilayah dan orang Sunda sebagai inti atau pokok isi naskah. Dengan demikian, naskah Melayu Jambi adalah naskah-naskah yang disusun dan ditulis di wilayah Jambi dan naskah-naskah yang berisi uraian atau cerita yang bertalian dengan wilayah dan orang Melayu Jambi sebagai inti atau pokok isi naskah.
Naskah-naskah Melayu Jambi ini tersimpan di berbagai museum di dalam dan luar negeri (lihat Juyn Boll, 1899; Ronkel, 1921; Sutaarga, 1972; dan Howard, 1966). Sebagian naskah ini masih disimpan sebagai koleksi pribadi di kalangan tertentu masyarakat Jambi.
Salah satu naskah Melayu Jambi yang terpenting adalah kumpulan naskah “Kisah Raja-Raja Jambi” yang di dalamnya memuat teks “Tan Telanai” yang popular dan digemari masyarakat Melayu Jambi. Hal ini dibuktikan terdapatnya teks ini dalam sejumlah naskah Melayu dan masih beredarnya teks ini dalam bentuk lisan. Dalam cerita-cerita tradisional Jambi, tokoh Tan Telanai telah menjadi mitos-pengukuhan bagi eksistensi Melayu Jambi. Pentingnya teks ini dibuktikan pula oleh perhatian peneliti yang menganggap teks ini sebagai sumber sejarah (lihat Saudagar, 1997, Hanafiah, 1992, Amertawengrum, 1996, Abdullah, 1984, dan Andaya, 1987).
Teks “Tan Telanai” dapat dimasukkan dalam kelompok sastra sejarah, yaitu karya yang bersifat ganda: sebagai karya sejarah dan karya sastra. Sastra sejarah merupakan hasil penulisan yang mengandung unsur-unsur sejarah atau unsur-unsur yang bersifat sejarah—mengikuti konsep dan ukuran masyarakat serta zaman yang menghasilkannya--. Bagi orang-orang Melayu dahulu kala, sejarah berlainan dengan yang diartikan orang Barat. Sejarah dalam pengertian tradisional adalah kisah tentang peristiwa-peristiwa yang dianggap dan dipercaya telah terjadi di masa lampau—dalam hal ini tidak ada perbedaan antara kenyataan peristiwa yang sesungguhnya dan kenyataan ciptaan pengarang (Ekadjati, dalam Lubis, 2000).
Cerita yang termasuk sastra sejarah bukan dimaksudkan untuk memberitakan kenyataan-kenyataan yang bersejarah dengan sebenar-benarnya, melainkan untuk memuji-muji kerajaan serta keturunan raja (Emeis, 1952). Hal ini sejalan dengan pendapat Ibrahim (1986) yang menyatakan bahwa penulis-penulis sastra sejarah lebih cenderung untuk menghasilkan cerita-cerita yang menarik dan memuaskan daripada mementingkan sejarah. Pola pemikiran demikian, sejalan dengan tujuan penulisan karya historiografi tradisional, yaitu bukan kebenaran historis yang menjadi tujuan utama, melainkan upaya meneguhkan nilai kultural masyarakat yang menghasilkan karya tersebut (Abdullah, dalam Lubis, 2000).
Teks ”Tan Telanai” merupakan karya budaya masa lampau. Berbeda dengan produk budaya masa kini. Hasil cipta budaya masa lampau, pada saat ini berada dalam kondisi yang tidak selalu dapat diterima dengan jelas dan sering dikatakan gelap, atau ’tidak jelas” oleh pembaca masa sekarang karena banyak karya tulisan masa lampau dirasakan tidak mudah dipahami. Padahal karya-karya tulisan masa lampau, seperti teks ”Tan Telanai”, merupakan peninggalan yang mampu menginformasikan buah pikiran, buah perasaan, dan informasi mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah ada. Karya-karya dengan kandungan informasi mengenai masa lampau itu tercipta dari latar sosial budaya yang tidak ada lagi atau yang tidak sama dengan latar sosial budaya masyarakat pembaca masa kini (Baried, 1994). Oleh karena itu, upaya pengkajian terhadap teks ”Tan Telanai” dengan mengunakan teori-teori sastra dan teori kebudayaan, layak dilakukan.
Untuk memahami karya sastra ini secara mandiri, teks ”Tan Telanai” perlu dikaji secara struktural. Kajian struktural ini akan mengantarkan pada hakikat serta arti teks ”Tan Telanai” ini sebagai cipta sastra yang merupakan produk sosial budaya masyarakatnya. Bagaimana strukturnya, apa maknanya bagi khalayak, dan apa fungsinya dalam masyarakat tertentu pada suatu zaman, akan terjawab dalam penelitian struktural. Dengan analisis ini, diharapkan tercapainya pemahaman yang optimal terhadap teks ”Tan Telanai”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami dalam meneliti karya sastra tidak dapat menghindari diri dari pendekatan objektif, tetapi tidak dapat berhenti sampai di sana. Kita perlu meletakkan karya sastra itu dalam kerangka sosial budayanya karena karya sastra itu tidak dapat terlepas dari kerangka sosial budaya yang menjadi sumber penciptaannya. Di samping itu, peranan pembaca sebagai pemberi makna dan penerima teks tidak dapat diabaikan.
Di sinilah diperlukan analisis struktural Levi-Strauss. Analisis ini karya sastra diletakkan pada posisi dan proporsinya yang kontekstual. Karya sastra dipandang sebagai karya budaya dalam kerangka sosial budaya masyarakat yang menciptakannya.
Mary Douglas (1967) mengemukakan bahwa analisis struktural Levi-Strauss mampu mengungkapkan acuan-acuan tertentu, makna-makna yang sangat dalam, yang tak terduga dan menarik dari serangkaian mitos atau cerita tertentu. Untuk dapat menampilkan makna ini, seorang analis memang harus memiliki pengetahuan yang luas tentang kebudayaan masyarakat pemilik mitos-mitos itu. Analisis ini berangkat dari kebudayaan yang diketahuinya untuk menafsirkan atau mengungkapkan makna mitos yang tidak diketahuinya. Jadi, sebelum menganalisis mitos-mitos tertentu, dia perlu mengetahui budaya masyarakatnya terlebih dahulu.
Sumber: Jurnal Mlangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...