Oleh: Musfeptial
Abstrak
Penelitian ini berjudul Gejala Oedipus dan Elektra Kompleks pada Naskah Drama Malin Kundang Wisran Hadi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gejala Oedipus dan Elektra Kompleks dalam teks. Penelitian ini menggunakan teori resepsi sastra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Wisran Hadi memiliki resepsi tersendiri terhadap kaba teks Malin Kundang.
Wisran Hadi melakukan resepsi dengan cara menolak isi teks kaba Malin Kundang dan menghasilkan naskah drama Malin Kundang. Bagi Wisran Hadi, keinginan dan harapan tokoh ayah untuk mendapatkan anaka perempuan akan mengobati kerinduan pada ibunya merupakan bentuk gejala Oedipus Kompleks. Sementara itu, gejala Elektra Kompleks terlihat dari sikap tokoh Ibu yang mendambakan anakanya Malin Kundang sebagai pengganti ayahnya sendiri.
Kata kunci: Gejala Oedipus dan Elektra, resepsi sastra,
Abstract
This study entitle about Symptoms of Oedipus and Electra Complexes in Drama Script Malin Kundang Wisran Hadi. This study aims to look at the symptoms and Elektra complex odipus in the text. This study used the theory of literary reception. The results of research showed that Wisran Hadi had his own reception of the text kaba Malin Kundang. Wisran Hadi performed reception by rejecting the text content kaba Malin Kundang and produced Malin Kundang drama. For Wisran Hadi, desires and expectations of a father figure to get girls will treat her longing for a form of the Oedipus complex symptoms. Meanwhile, the visible symptom of an attitude Elektra complex character who crave her mother Malin Kundang as a replacement for his own father
Keywords: literary reception, hipogram, and transforming text
1. Pendahuluan
Sebagai seorang penulis naskah drama Wisran Hadi telah produktif berkarya dengan menghasilkan banyak naskah drama, antara lain Cinduo Mato, Puti Bungsu, Anggun Nan Tongga, Perguruan, Jalan Lurus, Senandung Semenanjung, Tuanku Nan Renceh, dan Malin Kundang, Nyonya-Nyonya, Putri Manis Talonsong, Hang Tuah dan lain-lain. Wisran Hadi menulis dengan gaya (style) penciptaan karya sastra yang khas, yaitu membentuk formula baru dari sebuah karya sastra, tetapi karya tersebut tetap berangkat dari akar cerita lama (kaba) . Gaya penciptaan karya sastra yang khas tersebut telah mengundang minat para pemerhati dan peneliti sastra untuk membicarakan dan mengkaji naskah drama karya Wisran Hadi tersebut. Di antara peneliti tersebut antara lain Teeuw, Jakob Sumarjo, Umar Junus, Ifan Adila, dan Hasanuddin, WS.
Teeuw dalam bukunya Sastra dan Ilmu Sastra (1984:367) membicarakan pola penciptaan naskah drama Wisran Hadi. Teeuw menjelaskan bahwa pola penciptaan yang dipergunakan dalam naskah drama Wisran Hadi dengan cara memutar-balikkan isi cerita, sehingga cerita bertentangan dengan cerita sebelumnya. Dalam naskah drama Wisran Hadi terlihat adanya tegangan antara harapan yang diberikan pengarang kepada pembaca dan usaha pengarang untuk memberi makna pada penyimpangan yang secara sadar ia lakukan.
Jakob Sumarjo, dalam bukunya Perkembangan Teater dan Drama Indonesia (1997) mencatat bahwa sejak tahun 1975 Wisran Hadi telah ikut meramaikan kehidupan pernaskahan drama di Indonesia. Gaung dan Puti Bungsu merupakan dua judul naskah drama yang memenangi harapan lomba penulisan naskah drama yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1975. Bahkan, Wisran Hadi adalah salah seorang penulis naskah drama yang selalu mendapat hadiah pada lomba yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta.
Junus dalam beberapa buku, di antaranya Mitos dan Komunikasi (1981), Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia (1983), dan Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (1985) juga membicarakan naskah drama Wisran Hadi. Dalam buku Mitos dan Komunikasi Junus membicarakan tentang cerita Malin Kundang. Dalam buku tersebut Junus mengeritik sikap yang menganggap cerita Malin Kundang sebagai cerita kanak-kanak belaka, seakan-akan kedudukannya telah didegradasi, sehingga cerita Malin Kundang hanya diartikan sebagai pemberian ajaran moral kepada anak.
Junus juga memberikan ulasan yang panjang lebar tentang cerita tradisional Minangkabau Malin Kundang. Dia menyimpulkan dua hal, pertama, keinginan pulang tokoh Malin Kundang untuk membanggakan kekayaannya di kampung supaya ibunya juga ikut terhormat. Keinginan Malin Kundang pulang, jelas merupakan bukti kecintaannya pada ibu dan kampung halamannya. Tidak ada unsur melupakan ibu pada diri Malin Kundang. Jadi, persoalannya bukan tidak mau mengakui ibunya, tetapi Malin Kundang tidak lagi mengenal ibunya karena terpisah lama. Si anak di rantau menjadi orang yang kaya dan hidup serba mewah dan membayangkan ibunya masih seperti dulu, waktu dia tinggalkan. Sedangkan si ibu hidup semakin sengsara sehingga menjadi perempuan yang melarat sekali. Akibatnya, si anak menjadi tidak percaya bahwa perempuan tua yang ia temui di Pantai Padang itu adalah ibunya. Kedua, kutukan yang dilkakukan ibu merupakan sebuah pembuktian kepada masyarakat bahwa Malin Kundang betul anak si ibu. Walaupun akibat dari kutukan tersebut si anak berubah menjadi batu. Demitifikasi dan interpretasi seperti yang dilakukan Junus tersebut juga telah dilakukan Wisran Hadi dalam naskah dramanya Malin Kundang (1981: 88).
Dalam buku Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia (1983) juga dibicarakan tentang naskah drama Malin Kundang karya Wisran Hadi. Junus berpendapat bahwa naskah drama Puti Bungsu (Wanita Terakhir) (1978) berangkat dari tiga cerita rakyat yang berbeda, pertama Malin Kundang, kedua Malin Deman, dan ketiga Sangkuriang.
Dalam buku Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (1985), Junus masih membahas tentang naskah drama Wisran Hadi, Puti Bungsu. Junus (1985: 93) mengambil simpulan dari analisisnya tentang naskah drama tersebut, sebagai berikut:
(1) Wisran Hadi melihat adanya empat atau lima cerita yang terpisah, yaitu Malin Kundang, Malin Dewa, Malin Deman, Malin Duano, dan Sangkuriang.
(2) Keempat atau kelima cerita tersebut dan diperlakukan Wisran Hadi secara lain dari yang biasa diperlakukan orang. Kesemuanya tidak lagi dilihat sebagai cerita-cerita yang terpisah-terpisah, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan.
(3) Keadaan tersebut terjadi karena fenomena sosio-budaya kini yang memungkinkan untuk melihatnya sebagai suatu kesatuan.
Dengan melihat pada pokok bahasan yang telah dilakukan oleh Junus, maka penelitian ini jelas berbeda dengan apa yang sudah dilakukannya. Junus berangkat dari analisisnya tentang teks drama Puti Bungsu. Bahwa teks drama Puti Bungsu muncul akibat adanya dialog antar teks sastra. Di sini juga terlihat tidak konsistennya Junus memberikan pandapatnya tentang teks cerita yang menjadi tumpuan dalam teks drama Puti Bungsu Wisran Hadi. Pada buku Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia (1983) Junus mengatakan bahwa teks drama tersebut memuat tiga cerita rakyat, yaitu Malin Kundang, Malin Deman, dan Sangkuriang, sedangkan pada buku Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (1985) Junus menjelaskan bahwa naskah drama Puti Bungsu memuat lima cerita rakyat, yaitu Malin Kundang, Malin Dewa, Malin Deman, Malin Duano, dan Sangkuriang. Hal itu tentu akan membingungkan pembaca, mana di antara dua pendapat Junus tersebut yang mendekati kebenaran dari aspek data, apakah teks Puti Bungsu bersumber dari tiga cerita atau lima cerita rakyat.
Kajian yang mendalam tentang naskah drama Puti Bungsu (Wanita Terakhir) pernah dilakukan Adila (1996) berupa tesis di Universitas Gajah Mada dengan judul Puti Bungsu (Wanita Terakhir) Analisi Struktural dan Intertekstual. Analisis yang dilakukan Adila pada tesis tersebut berupa analisis unsur struktur ketiga naskah yang termuat dalam naskah drama Puti Bungsu serta perbandingan antara naskah drama tersebut dengan ketiga cerita tersebut secara interteks.
Hasanuddin, WS. (2003) membicarakan teks drama Wisran Hadi, yang berjudul Anggun nan Tungga Magek Jabang. Cara kerja yang dipergunakan Hasanuddin dalam buku yang berjudul Transformasi dan Produksi Sosial Teks Melalui Tanggapan dan Penciptaan Karya Sastra: Kajian Intertekstualitas Teks Cerita Anggun nan Tungga Magek Jabang ini berangkat dari analisis filologi. Pada mulanya ia berusaha memperbandingkan enam (6) naskah Cerita Anggun nan Tungga Magek Jabang dalam beberapa episode. Setelah memperbandingkan teks Cerita Anggun nan Tungga Magek Jabang atas episode-episode sesuai dengan pokok cerita, barulah Hasanuddin menentukan lima (5) teks sambutan. Istilah teks sambutan dalam penelitian tersebut berarti teks yang menjadi acuan atau tumpuan (hipogram). Setelah itu barulah Hasanuddin memperbandingkan antara teks sambutan dengan teks penyambut, dalam hal ini teks drama Cerita Anggun nan Tungga Magek Jabang karya Wisran Hadi. Dari cara kerja dan analisis yang dilakukannya, penelitian ini adalah penelitian intertekstualitas, karena dari segi analisis berusaha memperbandingkan antara teks sambutan dengan teks penyambut.
Melihat hasil penelitian seperti yang diuraikan di atas, maka kajian khusus yang mengungkap Oedipus dan Elektra Kompleks pada naskah drama Malin Kundang belum pernah dilakukan. setidaknya dengan teori dan pendekatan yang sama dengan yang penulis lakukan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka batasan masalah pada tulisan ini adalah bagaimanakah bentuk Oedipus dan Elektra Kompleks pada naskah drama Malin Kundang karya Wisran Hadi sebagai hasil resepsi pengarang terhadap cerita rakyat?
Sumber: Jurnal Mlangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...