Jumat, 01 Juli 2016

Serat Wulangreh Sebuah Tinjauan Stilistika Terhadap Sastra Tradisi

Oleh: Andi Asmara
Abstrak

Karya sastra tradisional memiliki estetika khas Nusantara yang layak untuk diketengahkan ke hadapan publik. Serat Wulang Reh yang ditulis dalam bentuk tembang macapat adalah salah satunya. Tulisan ini bertujuan mengupas stilistika sastra tradisional Jawa yang berjudul Serat Wulang Reh.
Melalui kajian ini, estetika bahasa dan sastra yang tertuang dalam Serat Wulang Reh yang diatur secara ketat oleh konvensi tembang macapat diharapkan dapat dipahami  secara jelas. Teori yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teori stilistika. Adapun hasil yang diharapkan adalah terungkapnya secara jelas konvensi sastra macapat dan gayabahasa yang diterapkan pengarang dalam Serat Wulang Reh.
Kata kunci: Serat Wulang Reh, Stilistika, Sastra tradisi

Abstract

Traditional literary works has a specific aesthetic of Nusantara that is appropriate to be known by the public. Serat Wulang Reh is one of the traditional literary workswhich was written in a form of tembang macapat. This research aims to analyze the stilistics of traditional literary work from Java which is called Serat Wulang Reh. Through this research, the aesthetic of language and literature that  wasexist in Serat Wulang Reh expected to be clearly understood. The theory applied in this study was stilistics. The writer expected the exposure of language style written by the author in Serat Wulang Reh.
Keywords: Serat Wulang Reh, Stilistics, Traditional Literature

1. Pendahuluan
Di antara berbagai karya seni, karya sastra dianggap sebagai karya yang menampilkan kualitas estetis yang paling beragam sekaligus paling tinggi (Ratna, 2011:289). Karya sastra, menurut Horitus diciptakan sebagai hiburan dan wahana untuk menyampaikan suatu pesan kepada pembaca. Oleh sebab itu, sastra hendaknya memuat dulce (indah) dan utile (berguna). Konsep ini selaras dengan pendapat Poe bahwa fungsi karya sastra adalah menghibur dan mengajarkan sesuatu (Endraswara, 2003:116). Dari sudut pandang estetika bahasa, sastra diartikan sebagai penggunaan bahasa yang khas yang hanya dapat dipahami dengan pengertian atau konsepsi yang tepat (Teeuw, 1983:1).

Berdasarkan bentuknya, karya sastra dibedakan atas tiga, yaitu karya sastra  berbentuk puisi, prosa, dan drama (Weisstein dalam Ratna, 2011:169). Karya  sastra berbentuk puisi diikat oleh berbagai macam aturan persajakan yang ketat. Prosa dan drama bersifat longgar, artinya tidak terikat oleh berbagai aturan kesastraan. Puisi merupakan penampilan monolog suatu keadaan, prosa adalah cerita mengenai suatu keadaan, dan drama merupakan penampilan dalam bentuk dialog mengenai suatu perbuatan (Ratna, 2011:174).

Di dalam khazanah sastra tradisional Jawa,  salah satu jenis karya sastra yang berbentuk puisi  adalah macapat, sedang satu di antara sekian banyak karya sastra tradisional Jawa yang ditulis dalam bentuk macapat adalah Serat Wulang Reh. Oleh karena teks Serat Wulang Reh ditulis dalam bentuk tembang macapa tmaka teks Serat Serat Wulang Reh  harus pula memenuhi berbagai ketentuan  atau aturan tembang macapat. Dinyatakan oleh  Padmosoekotjo (1958:18) bahwa macapat merupakan jenis puisi tradisional dalam kesusastraan Jawa. Jenis puisi ini diikat oleh konvensi yang telah mapan, berupa guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu.Macapat berarti tembang yang biasa digunakan atau terdapat dalam kitab-kitab Jawa baru (Poerwadarminta, 1939:299). Tembang macapat disebut juga tembang cilik, sekar alit, atau tembang lumrah (Hadiwidjana, 1967:51). Macapat  adalah sebutan puisi Jawa baru berdasrkan metrum Jawa (Sardjana, 1968:11)

Sejalan dengan dinamika zaman,  keberadaan sastra macapat juga ikut menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang memengaruhinya. Dalam hubungannya dengan konvensi yang berlaku, sastra macapat tetap berusaha memenuhi aturan metrum,  guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu yang telah dibakukan, sedangkan dalam hubungannya dengan bahasa yang digunakan dan tema-tema yang ditampilkan, macapat mengalami perubahan dan perkembangan  (Laginem, 1996:3--4). 

Bagi para pecinta macapat, menembangkan teks Serat Wulang Reh dengan penuh penjiwaan akan mendapatkan kepuasan batin tersendiri. Kepuasan tersebut dibangkitkan oleh penggunaan bahasa yang menggugah jiwa. Bahasa Jawa dalam Serat Wulang Reh  tidak hanya dimanfaatkan sebagai alat komunikasi, tetapi lebih dari itu bahasa dimanfaatkan sebagai alat yang dapat menggugah rasa estetis. Menggugah rasa estetis pembaca melalui bahasa adalah tujuan pengarang agar dapat menikmati karya sastranya. 

Melalui tulisan ini diharapkan konvensi sastra  macapat dan gaya bahasa Serat Wulang Reh dapat diketengahkan secara baik dan memadai.  Dengan begitu, akan diketahui secara jelas apakah Serat Wulang Reh ditulis sesuai dengan kaidah sastra macapat atau tidak. Selain masalah penerapan konvensi sastra tradisional, melalui tulisan ini diharapkan akan terungkap secara jernih pula gaya bahasa yang gunakan pengarang dalam menuliskan karya sastranya. 

Sumber: Jurnal Mlangun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...