Rabu, 13 Juli 2016

Geliat Sastra di Sekolah: Apa Kabar?

Oleh: Syaiful Bahri Lubis 

1. Pendahuluan
Ketika akan menuliskan makalah ini, saya teringat sewaktu masih bersekolah di SMP dulu. Waktu itu saya disuruh oleh ibu guru kami yang cantik, Nur Ainun namanya, untuk membacakan salah satu puisi Chairil Anwar yang melegenda 'Diponegoro' dengan mimik wajah dan gerak tangan khas remaja berdeklamasi di depan kelas. Usai pembacaan, teman-teman memberi saya hadiah dengan tepuk tangan yang meriah. Lalu, gantian teman lain membacakan puisi yang sama dengan gaya sedikit berbeda.
Bu Inun, begitu kami biasa menyapanya, kemudian memberikan ulasan tentang puisi tersebut dan bagaimana cara membacakannya (bukan membacanya) dengan baik.

Itulah sepenggal kegiatan tipikal pembelajaran sastra (yang hanya subbagian pelajaran Bahasa Indonesia) yang dilakukan oleh guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas. Siswa membaca puisi (biasanya karya penyair-penyair ternama), guru mengulas isinya menurut versi yang baku dan menugaskan para siswa untuk menulis minimal satu puisi karya mereka sendiri. Hanya sedikit guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang kreatif dan inspiratif yang menambahkan kegiatan lainnya untuk menambah bobot kegiatan pembelajaran kesastraan untuk anak-anak didiknya. Misalnya, menulis cerita pendek, mengulas karya sastra (novel, cerpen, dan drama), diskusi sastra, membuat sinopsis atau resensi karya sastra yang sedang ngetrend di kalangan masyarakat.

2. Masalah
Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan secara sederhana, yaitu bagaimanakah gambaran kegiatan sastra di sekolah-sekolah di Provinsi Jambi. Apa saja kegiatan kesastraan siswa di luar jam sekolah. Inilah yang akan diperikan dalam penelitian ini.

3. Tujuan dan Hasil yang Diharapkan
Penelitaian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran seperti apa aktivitas sastra di sekolah-sekolah se-Provinsi Jambi. Apa saja kegiatan sastra yang dilakukan di sekolah, terutama di luar jam pelajaran. Adakah sanggar atau kelompok-kelompok kesastraan di sekolah mereka. Hasil dari penelitian ini paling tidak bisa menjadi pangkalan data untuk memetakan kegiatan sastra di luar jam sekolah di Provinsi Jambi. Pangkalan data ini nanti menjadi kajian bagi stakeholder (Kantor Bahasa, Dinas Pendidikan) untuk langkah selanjutnya. Paling tidak ini bisa dijadikan titik tolak untuk melangkah dalam memompa geliat sastra di sekolah. 

4. Metode dan Teknik Penelitian
Antara pengertian metode dan teknik sering ditumpangsarikan. Sebenarnya pengertian metode dan teknik sering dianggap sama, tetapi keduanya memiliki perbedaan. Kalaulah metode merupakan cara, berarti teknik adalah proses penggunaan atau pemakaian cara itu sendiri. Bila diibaratkan kegiatan menggali tanah, kegiatan membuat lubang di tanah adalah metodenya. Lalu, menggali pakai cakul, menggali pakai tembilang, menggali pakai linggis, menggali pakai skop, menggali pakai mesin bor, menggali pakai eskavator, adalah tekniknya. Jadi, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara langsung tanpa tatap muka, melainkan hanya berdialog melalui telepon. Artinya, melepon satu per satu para informan dengan menanyakan secara mendalam kegiatan-kegiatan kesastraan yang ada di sekolah mereka. Tentu, bila informan memberitahu bahwa kegiatan kesastraan tidak ada di sekolah mereka, peneliti hanya menanyakan sebab-sebab mengapa tidak ada, menanyakan sejarahnya pernah ada atau belum kegiatan kesastraan di sekolah mereka. Khusus kepada sekolah yang memberi jawaban ada kegiatan sastra, pertanyaan dilanjutkan lebih mendalam, kegiatan kesastraan apa saja, sejak kapan adanya, masih berlangsung atau belum, kira-kira berapa siswa yang mengikutinya, pernah mengikuti lomba apa saja, dan lain-lain.

Metode wawancara yang dilakukan diikuti dengan teknit catat. Pengolahan data yang terkumpul dideskripsikan dengan teknik seleksi identifikasi dan klasifikasi. Data yang memiliki nilai akurasi memadai dilakukan identifikasi dan klasifikasi data. 

Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif¬-analitik. Metode deskriptif-analitik dilakukan dengan tujuan untuk memberikan dan menggambarkan secara sistematik dan faktual berdasarkan fakta-fakta atau data penelitian. Penyusunan laporan dilakukan secara sederhana dalam tabulasi data dalam bentuk tabel rekapitulasi. `

5. Sumber Data Penelitian
Data penelitian ini adalah data primer yang diambil langsung di lapangan. Setiap sekolah yang dijadikan sampel diwawancarai secara langsung. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam dengan berdialog langsung dengan siswa yang berminat pada sastra atau guru bidang studi Bahasa Indonesia. Dipilihnya siswa yang berminat pada sastra dengan harapan mereka lebih mengetahui ada tidaknya kegiatan kesastraan di sekolah mereka. 

Cara memilih siswa yang berminat pada sastra adalah dengan beranjak dari pangkalan data yang ada pada penulis. Penulis mewawancarai siswa yang pernah mengikuti kegiatan sastra di Kantor Bahasa Provinsi Jambi. Kegiatan itu antara lain, lomba cerpen, bengkel sastra, musikalisasi puisi, lomba pidato, lomba debat bahasa, dll. Dipilihnya guru bahasa Indonesia dengan pertimbangan para guru bahasa Indonesia pasti mengetahui kegiatan sastra yang ada di sekolahnya. Dari sejumlah sekolah yang ada di Provinsi Jambi, diambil lima puluh SLTA sebagai sampel. 

Alasan pemilihan SLTA sebagai sampel, dengan asumsi anak-anak SLTA mempunyai waktu yang banyak untuk melakukan kegiatan ekstrakurikuler. Selain itu, anak SLTA diasumsikan lebih mandiri atau lebih leluasa untuk pulang sekolah sore hari dibandingkan dengan anak SMP atau SD. Artinya, anak SLTA lebih memungkinkan mengikuti kegiatan-kegiatan di luar jam sekolah, terutama kegiatan sastra. Oleh karena itulah, sekolah SLTA yang dijadikan sampel dalam penelitian ini.

6. Hasil Temuan di Lapangan
Dari penelitian yang dilakukan di lapangan, diperoleh data yang sangat mencengangkan. Sebenarnya saya tidak membayangkan hasil yang akan didapatkan seperti itu. Sejumlah 50 sekolah tingkat SLTA se-Provinsi Jambi kami survei, diperoleh data 46 sekolah (92%) belum atau tidak mempunyai kegiatan kesastraan di sekolah mereka. Kalau pun ada hanya sekadar kegiatan musiman atau kambuhan, misalnya kalau akan ada undangan untuk mengikuti lomba, barulah mereka mengadakan latihan. Artinya, kalau tidak ada rencana kegiatan lomba, sama sekali kegiatan kesastraan tidak ada. Hanya 4 sekolah yang punya kegiatan kesastraan yang bisa dikatakan tetap melakukan aktivitasnya. Ada 2 sekolah yang mempunyai sanggar teater, 1 sekolah yang mengadakan kegiatan pelatihan baca puisi, dan 1 sekolah mempunyai kegiatan pelatihan atau belajar menulis puisi atau cerpen.

Selebihnya, kalau pun ada kegiatan di sekolah mereka, hanyalah kegiatan yang dilakukan oleh pihak luar. Misalnya, kegiatan bengkel sastra yang dilakukan oleh Kantor Bahasa Provinsi Jambi. Pihak sekolah hanya sebagai mitra, yang melakukan kegiatan adalah pihak lain. Sekolah hanya menyediakan pesertanya saja, yaitu siswa. Itu pun tidak dilakukan untuk satu sekolah, melainkan gabungan dari beberapa sekolah yang diselenggarakan di satu tempat. Kegiatan ini hanyalah musiman, yang belum tentu diadakan setiap tahun di sekolah mereka. Pernah juga ada kegiatan kambuhan seperti SBSB (sastrawan bicara siswa bertanya). Akan tetapi, kegiatan ini hanya sekali, setelah itu tidak pernah lagi dilaksanakan. Jadi, kegiatan kesastraan di sekolah boleh dikatakan tidak ada karena hanya sekitar 8% saja.

Padahal, sekolah yang baik seharusnya mampu menumbuhkan persemaian kecerdasan seperti bahasa, sains dan matematika, seni rupa, musik, olahraga, dan sosial budaya. Oleh karena itu, sekolah yang baik tentu memiliki sekelompok guru yang mampu berkolaborasi menempatkan sastra, seni dan budaya, sebagai bagian pengasah etika dan estetika. Siswa diberi kesempatan menggunakan komputer, tersedianya ruangan yang representatif untuk berkumpul dalam bentuk sanggar dan unit kegiatan. Juga, tersedianya alat pendukung berkesenian, seperti seperangkat alat musik kiwari maupun tradisional dan dijatahkan anggaran yang cukup untuk menyelenggarakan kegiatan seni dan budaya. Sebab dengan biaya yang tidak mahal berbagai perhelatan budaya bisa digelar di sekolah asal ada niat baik dari pihak sekolah untuk menghadirkannya. 

Kreativitas siswa dalam sastra adalah kegiatan siswa, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah, di bidang sastra. Kegiatan kreatif ini umumnya kegiatan tulis menulis, mencipta dan berkarya, tetapi juga kegiatan menghidupkan iklim sastra—dalam lingkungannya yang terbatas antara siswa, atau lebih luas di lingkungan sekolahnya. Kegiatan menghidupkan iklim sastra itu dapat bermacam-macam: menghidupkan majalah dinding, perpustakaan, membaca karya sastra bersama, ceramah sastra, pelatihan menulis karya sastra, lomba baca puisi dan cerpen, dan kegiatan teater.

Kegiatan sastra juga dapat diwujudkan dengan keikutsertaan siswa secara pribadi atau kelompok, bergabung pada sanggar-sanggar sastra. Juga, keikutsertaan siswa dalam kegiatan sastra yang dilaksanakan dalam masyarakat. Keikutsertaan dalam kegiatan di luar sekolah. Kegiatan ini tumbuh karena dorongan sekolah atau datang dari keinginannya sendiri. 

Ironis memang, melihat kenyataan yang terjadi di berbagai sekolah di Provinsi Jambi sesuai dengan survei yang dilakukan. Diperparah pula dengan kenyataan bahwa kebanyakan siswa menjadi berkurang minatnya pada sastra atau mereka kurang menjiwai dan mendalami sastra karena faktor-faktor lain yang menyuburkan kekurangpedulian mereka terhadap sastra,

a. Jam Pelajaran Kurang 
Kurangnya kegiatan pembelajaran sastra di sekolah biasanya ditimpakan pada kurangnya alokasi waktu pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah menengah (4 jam pelajaran atau bahkan hanya 2 jam pelajaran per minggu). Apalagi sekarang sering libur karena asap yang merayap di mana-mana. Alokasi waktu yang demikian kecil dibandingkan dengan banyaknya materi (kebahasaan dan kesastraan) menyebabkan guru kesulitan membagi waktu. Mereka lalu mengambil jalan pintas paling praktis, yaitu memperbanyak materi kebahasaan dan menyedikitkan materi kesastraan. Alasannya karena materi kebahasaan lebih mudah dibelajarkan kepada siswa daripada materi kesastraan. Alasan lainnya, materi ujian nasional terdiri dari banyak soal kebahasaan dan sedikit soal kesastraan (itu pun bersifat verbal). Bahkan, di materi soal SBMPTN, sastra sama sekali tidak diujikan. Guru tidak ingin anak didiknya gagal mengerjakan soal ujian dan atau ulangan gara-gara berlebihan membelajarkan kesastraan. Barangkali alasan tersebut mungkin benar, tetapi penyebab sesungguhnya bukanlah demikian. Sebagian besar guru Bahasa dan Sastra Indonesia sebenarnya disinyalir kurang memahami materi sastra (dan terlebih karya sastra). Hal ini dapat dipahami karena sewaktu mereka menuntut ilmu di almamaternya, materi kebahasaanlah yang banyak mereka pelajari, bukan kesastraan.

Kenyataannya hanya sedikit guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang benar-benar memahami materi kesastraan secara teoretis dan praktis. Untuk sekadar mengambil bukti konkret di Jambi dan Palembang, sebut saja dari yang sedikit itu seperti (alm) Cory Marbawi, Ferlie Montana, Indriatno, Suhardiman Malay, Titas Suwanda, Yupnical Saketi, Nanang Sunarya, Neni Erningtiyas, Purhendi, dan Jajang R. Kawentar. Kesastrawanan mereka takdiragukan lagi memang. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia selebihnya adalah guru-guru Bahasa Indonesia yang 'apa adanya.’ Artinya, hanya guru murni, bukan sastrawan atau praktisi. Sama seperti guru bidang studi lain, guru matematika, guru fisika, dll. Setidaknya ini menurut pandangan subjektif saya. Pandangan saya ini, rupanya sudah pernah juga diutarakan oleh Suroso (1982:147-148), yaitu harus diakui dengan jujur bahwa guru sastra (baca: guru pengajar Bahasa Indonesia) produk IKIP pada umumnya (kebanyakan) memiliki wawasan sastra dan pengalaman bersastra yang kurang memadai, dan jarang terlibat dalam komunitas sastra dan seni. Bagaimana mungkin guru mampu mengajar baca puisi kalau dia sendiri tidak mampu membaca puisi, bagaimana mungkin guru mengajarkan cerpen kalau dia sendiri tidak suka membaca cerpen, guru tidak mampu mengajarkan dialog ketika ia tidak memiliki pengetahuan dasar tentang teater.

Guru sastra yang ideal yang berhadapan denga siswa, baik di kelas maupun di luar kelas, adalah guru BI yang telah memiliki jam terbang tinggi dalam bersastra, berkesenian, dan berkebudayaan. Ia tidak cukup mengantongi ijazah formal sarjana BI, tetapi terbih penting memiliki pengalaman sastra dan seni secara formal. Oleh karena itu, guru ideal akan mampu menjadi manajer dan menyosialisasikan sastra pada anak didik, mampu merangkul seniman dan budayawan agar terjadi komunikasi yang intim antara siswa, guru, dan seniman. Dengan upaya ini akan bisa terwujud apresiasi sastra di kalangan siswa yang mampu menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran dan perasaan yang baik terhadap cipta sastra (Efendi, 1982: 2).

Dalam situasi pembelajaran kesastraan yang demikian itulah sulit diharapkan lahirnya sastrawan-sastrawan Indonesia baru yang dihasilkan sekolah. Konon kemunculan penulis produktif biasanya rata-rata mereka bukan semata-mata dihasilkan dari proses pembelajaran kesastraan di sekolah, melainkan adanya dorongan dan kemauan yang keras serta latihan menulis yang dicontohkan para penulis profesional di luar sekolah.

Mengapa bisa terjadi demikian? Penyebabnya antara lain, dunia sastra adalah dunia yang kental dan pekat dengan pengembaraan imajiansi, kekhusukan kontemplasi, penajaman intuisi, ekspresi ide-ide dan penciptaan karya. Memahami sastra tidak cukup dengan mengenal nama-nama sastrawan dan karyanya atau menghafal teks-teks karya sebagaimana yang biasa dilakukan oleh sebagian besar guru Bahasa dan Sastra Indonesia ketika melakukan pembelajaran sastra. Memahami sastra adalah dengan terjun di dalamnya, menyelaminya dan merasakan getaran jantungnya, bergumul dan bercengkrama serta menggerayangi tubuhnya. Dengan kata lain, melibatkan diri secara aktif dan proporsional di dalam jagat kesastraan itu sendiri.

b. Hobi Membaca Kurang 
Di antara bangsa-bangsa Asia Tenggara saja, bangsa Indonesia menempati posisi ragil dalam hal hobi membaca. Penerbitan buku baru lamban dan rasio jumlah buku yang terjual dengan jumlah penduduk sangat kontras negatif. Satu buku berbanding sekian ribu penduduk. Belum lagi apabila dilihat dari seberapa buku sastra yang telah diterbitkan dan dibaca masyarakat. NOL BESAR. Bandingkan dengan negara-negara lain yang mewajibkan para siswanya membaca karya sastra selama dalam masa pendidikan atau masa sekolah. Malaysia termasuk negara jiran yang memiliki kepedulian tinggi terhadap perkembangan kesastraan. Tidak heran apabila di negara itu ada lembaga formal sejenis dewan sastra yang cukup disegani. Para sastrawan dan pengarang mendapatkan sebutan 'pujangga' dan mendapatkan tempat yang terhormat di tengah masyarakat. Karya-karya mereka diterbitkan pemerintah dan kebutuhan hidup mereka dijamin oleh negara. Thailand, Singapura, dan Brunei Darussalam pun mulai melakukan hal yang sama. Bagaimana dengan negara kita? Putu Wijaya pernah memprediksikan bahwa negara kita dapat melakukan hal yang sama asalkan para petinggi negara beriktikad baik dan mempunyai kepedulian terhadap perkembangan dunia kesastraan nusantara serta berkeinginan untuk memulainya. 

Di Indonesia, kegiatan membaca baru menjadi monopoli kalangan terbatas (ilmuwan, dosen, civitas akademika) dan belum membudaya di kalangan awam. Bahkan, disinyalir para pendidik di sekolah-sekolah belum sepenuhnya menjadikan kegiatan membaca sebagai bagian dari kegiatan akademis mereka. Budaya membaca kalah pamor dibandingkan dengan budaya mendengar (audio) dan budaya menonton (visual) atau gabungan keduanya (audio-visual), bahkan kalah jauh dibandingkan dengan kebutuhan permainan gawai yang gandrung di zaman kiwari ini. Itulah sebabnya pertumbuhan perusahaan gawai (termasuk hp, android, tablet, dll) dan televisi (khususnya swasta) lebih menggairahkan daripada perusahaan penerbit buku (kecuali Gramedia Group).

c. Kelangkaan Karya Sastra
Langkanya penerbitan karya-karya sastra di tanah air juga menjadi faktor lain yang menyebabkan rendahnya kecintaan siswa terhadap sastra. Sewaktu saya sekolah, termotivasi mencintai karya-karya sastra karena guru sering memberikan bacaan-bacaan sastra sebagai bahan pelajaran membaca di kelas. Atau ketika ada guru yang berhalangan hadir, kami disuruh guru piket untuk membaca buku di perpustakaan sekolah. Buku-buku klasik semacam Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, Salah Asuhan, Belenggu dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk dan nama-nama sastrawan semacam Chairil Anwar, Mohammad Diponegoro, Marah Rusli, HAMKA, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan J.E. Tatengkeng sangat akrab di telinga anak-anak di zaman kami SMA. PT Balai Pustaka termasuk penerbit buku yang ngotot menerbitkan karya-karya para sastrawan tersebut.

Kelangkaan buku-buku sastra berbobot di pasaran menjadikan pilihan terhadapnya sangat terbatas. Usaha penerbit Gramedia Group menerbitkan buku-buku sastra (novel, kumpulan cerpen) karya sastrawan Indonesia mutakhir dan PT Balai Pustaka yang menerbitkan ulang karya sastrawan lama sungguh patut diacungi jempol. Hanya, tidak semua guru memanfaatkan buku-buku tersebut sebagai pelengkap bahan ajar kesastraan yang berkualitas. Mereka belum menunjukkan bagaimana strategi pembelajaran sastra yang metodis dan efektif untuk siswa guna menggairahkan kegiatan kesastraan. Membaca puisi di depan kelas tampaknya akan tetap menjadi pilihan guru Bahasa dan Sastra Indonesia ketika membelajarkan sastra. Apa yang menjadi kegundahan penyair Taufiq Ismail melihat rendahnya apresiasi dan kreasi guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia terhadap sastra tampaknya tidak akan pulih-pulih. Taufiq dalam banyak kesempatan meragukan mutu pendidikan sastra di sekolah. Bahkan kesan yang ditunjukkan beliau adalah bahwa pelajaran sastra di sekolah dalam keadaan ‘gawat-darurat’(Sukirnanto, 2002:165).

Dalam catatan kebudayaan di majalah sastra Horison, pada tahun 1997, Taufiq Ismail  (dalam Suroso: 2002:145) pernah menulis beberapa variabel yang menyebabkan terpuruknya sosialisasi sastra. Di antara variabel-variabel itu adalah merosotnya minat sastra, rendahnya tiras buku sastra, susutnya mutu karya sastra, dll. Semua itu, mata air atau hulunya adalah merosotnya pendidikan dan pengajaran sastra di sekolah.

7. Penutup
Mengakhiri tulisan ini, guna menggairahkan kegiatan sastra di sekolah hendaknya pembelajaran sastra tidak sebatas membaca dan mengulas puisi, tetapi lebih dari itu. Pembelajaran sastra yang baik tentunya dengan melibatkan si pembelajar (siswa) dalam kegiatan kesastraan, baik di dalam kelas, maupun di luar jam pelajaran. Rekan-rekan guru Bahasa dan Sastra Indonesia sudah barang tentu harus pandai-pandai menyiasatinya. Semoga. 

Sumber: Tentang Kita dan Mereka: Kumpulan Makalah Dialog Bahasa dan Sastra dengan Komunitas Masyarakat Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...