Oleh: Ricky A. Manik
Abstrak
Sitor Situmorang hidup dalam dua kebudayaan: Indonesia dan Barat. Manifestasi pengaruh dua kebudayaan ini terlihat dari cerpen-cerpennya. Masalah dan tujuannya adalah mencari tahu bagaimanakah dua kebudayaan itu mempengaruhi suatu cara kehidupan bagi Sitor. Metode analisis yang digunakan adalah perspektif interkulturalisme.
Metode ini menjelaskan bagaimana relasi-relasi antarbudaya, proses negosiasi, pengaruh dua budaya tersebut berlangsung dan digunakan untuk melihat bagaimana karya sastra menjadi suatu pembayangan akan harapan-harapan yang tersembunyi yang bersifat ideologis. Kajian ini menemukan bahwa mekanisme interkultural yang ada pada cerpen Sitor adalah mekanisme ideologi (individualisme dan eksistensialisme), migrasi, akulturasi, dan asimilasi. Faktor-faktor interkulturalnya adalah agama, tradisi, dan pendidikan.
Kata kunci: Sitor Situmorang, interkulturalisme, cerpen
Abstract
Sitor Situmorang lived within two cultures: Indonesia and Western. The manifestation of the two cultures could be seen clearly from his short stories. The problem and the purpose is how those two cultures could influence his way of life. The researcher used interculturalism perspective method. This method used to explain how intercultural relationship, negotiation process, and the influence of those two cultures occured to observe how literary works became an imagination of ideological of hidden hopes. This study found that intercultural mechanism in Sitor’s short stories appeared in a form of ideological mechanism (individualism and existentialism), migration mechanism, acculturation, and assimilation. Futhermore, the intercultural factors were obtained in religion, tradition, and education.
Key words: Sitor Situmorang, interculturalism, short story.
1. Pendahuluan
Sitor Situmorang dalam peta sastra Indonesia dikenal sebagai seorang penyair Angkatan ’45. Sajak-sajaknya yang dapat diketahui seperti Sajak Gadis Bali, Matinya Juara Judi, Surat Kertas Hijau, Wajah Tak Bernama, Kebun Binatang, Si Anak Hilang, Malam Lebaran dan berbagai sajak lainnya menandakan produktivitas seorang Sitor. Dibandingkan dengan karya-karya lainnya seperti esai dan cerpen, Sitor memang lebih produktif dalam menulis sajak. Akan tetapi bukan berarti karya Sitor seperti cerpen tidak sebagus sajak-sajaknya. Terbukti kumpulan cerpennya yang berjudul Pertempuran dan Salju di Paris (1956) merupakan pemenang Hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BKMN) tahun 1955/1956 untuk kategori kumpulan cerpen. Kumpulan cerpennya yang lain berjudul Pangeran (1963), Danau Toba (1981), dan Kisah Surat dari Legian (2003). Karena kesulitan untuk mendapatkan cerpen-cerpen Sitor, maka penerbit menggabungkan seluruh kumpulan cerpennya, yaitu Pertempuran dan Salju di Paris, Pangeran, Danau Toba dan Kisah Surat dari Legian menjadi satu kumpulan cerpen yang berjudul Ibu Pergi ke Surga (2011)—selanjutnya disebut IPKS.
Kumpulan cerpen IPKS terdiri dari 23 cerpen, yaitu: Kembang Gerbera, Akbar, Fontenay aux Roses, Cheri, Diplomat Muda, Harimau Tua, Kota S, Perawan Tengah Hari, Salju di Paris, Begitulah Selalu Kalau Hujan Turun, Ibu Pergi ke Surga, Jin, Pertempuran, Cinta Pertama, Kereta Api Internasional, Pangeran, Peribahasa Jepang, Jatmika dan Jatmiko, Kisah Surat dari Legian, Suatu Fiksi dalam Fiksi, Perjamuan Kudus, Kasim, dan Kehidupan Daerah danau Toba. Seluruh cerpen Sitor ini jika diklasifikasi secara latar tempat terbagi menjadi dua, yaitu latar tempat di mana ia berasal –Indonesia—dan Barat (Eropa). Dua latar yang terdapat di dalam cerpen-cerpennya ini tentu tidak dapat dilepaskan dari pengalaman Sitor sendiri yang hidup di dua budaya yang berbeda.
Sitor lahir di desa Harianboho, sebuah desa di lembah kecil di kaki Pusuk Buhit sebelah barat Danau Toba, menghadap Samosir. Tepatnya pada tanggal 2 Oktober 1924. Sitor dibesarkan oleh keluarga yang taat akan adat istiadat lama dan kebudayaan leluhur. Ayah Sitor adalah seorang kepala adat berdasarkan sistem marga, yakni marga Situmorang. Ayah Sitor menganut kepercayaan Batak asli, yang masih percaya kepada dewa-dewa yang dianggap sebagai penyelamat buat kaumnya. Gunung Suci Pusuk Buhit merupakan tempat sebagai panteon leluhurnya. Walaupun telah dibabtis secara kristen dan diberi nama baru, ayah Sitor tetap menggunakan nama Ompu Babiat (Situmorang, 1981: 20-21).
Bahkan Sitor pun mengatakan bahwa dari turunan keluarganya menganggap Ompu Babiat sebagai Tuhan yang “nampak”, dalam doa-doa kebutuhan kerohanian pribadinya dan keluarganya. Tradisi ini kemudian pada saat yang tidak diduga menghadapkan Sitor kepada persoalan dan masalah “adat Batak” sebagai agama yang bernama (Situmorang,1981: 23).
Masa kecilnya antara tahun 1924 – 1931, hidup di tengah-tengah masyarakat Lembah Harianboho yang masih tertutup, hidup bertani, jual-beli berlangsung masih dengan sistem barter. Kepercayaan masyarakat masih kuat terhadap hal-hal yang berbau mistik. Masuknya agama Kristen yang dibawa oleh kolonial Belanda pada wakltu itu hanya segelintir orang. Mereka tetap mempercayai adat dan melakukan pemujaan terhadap dewa-dewi, terutama dewi yang bersemayam di Danau Toba, yakni Boru Saniang Naga, dewi yang dianggap dapat menjamin kesehatan dan kemakmuran, penguasa angin dan gelombang.
Diusia Sitor yang ke-22 tahun, ia menikah dengan gadis keturunan Belanda. Sitor merasa memerlukan kemodernan wanita dalam batas-batas yang diterima di lingkungan. Di sini telah menandakan bahwa sudah terjadi pergeseran budaya tradisional yang masih dipegang kuat oleh masyarakat Batak yang dilakukan oleh Sitor. Meskipun begitu, Sitor masih tetap menghargai adat dan masih menjalankannya, setidak-tidaknya berbakti kepada orang tua yang teguh memegang adat Batak di lingkungannya. Lingkungan yang masyarakatnya masih tergantung dalam segala hal dari sesepuh adatnya, yaitu keluarga Kepala Adat.
Pada tahun 1950 Sitor berangkat ke negeri Belanda, kemudian tinggal di Amsterdam memenuhi undangan Stichting Culturele Samenwerking (Sticusa), sebuah yayasan yang mengurusi pertukaran intelektual dan kesenian antara Belanda dan Indonesia. Setahun kemudian, ia pindah ke Paris, sebuah kota yang menjadi banyak impian para seniman saat itu, dan bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia hingga tahun 1953. Tatkala ia tinggal di Eropa (khususnya di Paris), ia mencoba ikut menggeluti dalam alam Eropa modern, ikut larut bersama para eksistensialis Paris. Dalam esainya yang berjudul Paris: Yang Dikenang Yang Dilupakan (1999) Sitor mengakuinya terpengaruh akan filsafat ini.
“Masa saya bermukim di Paris pada tahun 1951-1952, saya berusia 27 tahun, dan sebagai wartawan yang berminat pada bidang budaya, perhatian saya terpusat pada program “kilas balik” lewat pengamatan langsung di dunia seni di kota Paris masa pascaperang yang bercirikan apa yang disebut “gaya hidup eksistensialis”, sebagai produk sampingan dari pengaruh filsuf Jean Paul Sartre, kepada generasi baru yang berdatangan dari mancanegara untuk “cemplung” di suasana Paris sebagai ritual ‘pendewasaan’ gaya baru (Barat?). (Situmorang, 1999: 37-38).
Sitor mengamati budaya Eropa modern dengan mencoba langsung tenggelam di dalamnya. Hasilnya, seperti yang diakuinya sendiri lewat tulisannya yang termuat dalam buku Proses Kreatif II (1984) suntingan Pamusuk Eneste, bahwa ia merasa mengalami krisis perasaan dan intelektual sepulangnya dari Eropa pada umurnya yang relatif masih sangat muda (29 tahun).
Pada tahun 1961, sebuah kumpulan puisinya dipublikasikan Zaman Baru yang merupakan refleksi semangat zaman pada masa itu. Kumpulan puisi itu penuh dengan slogan-slogan yang baik dan nasehat-nasehat, renungan tentang cinta dan pengembaraan, memuja bangsa yang secara politik benar menurut filosofi Soekarno yang berkembang pada tahun-tahun itu. Tema-tema tentang cinta dan pengembaraan pun tertuang dalam kumpulan cerpennya yang kedua yakni Pangeran pada tahun 1963 yang diterbitkan Kiwari, Bandung.
Pada tahun 1977, Sitor mendapat undangan dari Kementerian Kebudayaan Belanda, atas ususlan sahabatnya Prof. Teeuw. Perjalanannya ke Belanda dianggapnya sebagai kebalikan dari jejak kolonial yan berlayar mencari tanah jajahan dan “rempah-rempah di Timur”. Seperti terungkap dalam bukunya Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45.
“…Walau tidak sama dengan petualangan pelaut-pelaut Eropa di abad ke-15 dan abad-abad seterusnya, yang berlayar lewat Tanjung Harapan dengan kapal-kapal yang jauh lebih kecil, mencari “rempah-rempah di Timur”, saya merasa mengulangi jejak mereka dalam khayal, hanya saja dari arah kebalikannya, dan dengan tekad “menjelajahi Eropa” dari “Timur”. (Situmorang, 1981: 211)
Tekadnya yang bulat melanglang buana merupakan rasa ingin bebas dari kebekuan dan kungkungan budaya lama untuk menjadi bangsa yang modern, manusia yang modern. Sitor bertekad untuk menyingkap “rahasia hegemoni budaya Eropa” dalam sejarah.
“…Bukankah saya pewaris kebudayaan dunia melalui kemerdekaan bangsaku? Sisi budaya dari kebangsaanku menerima “unsur Barat”, sedangkan latar belakang budaya sukuku, budaya Batak seperti yang dibawakan oleh Ayah dan Ibu, tak terpikirkan lagi, kecuali sebagai kenangan,sebagai kantong dalam bawah-sadar, yang ritual-ritualnya memang saya jalankan kapan perlu, tetapi sebagai sisa-sisa alam pikiran dan cara hidup, dunia terisolasi sebagai museum hidup di kaki Pusuk Buhit di sana di pojok terpencil bulatan bumi.” (Situmorang, 1981: 209)
Pengembaraan Sitor dibanyak tempat inilah yang termanifestasikan didalam bentuk karya-karyanya baik itu puisi ataupun cerpen-cerpennya. Pengaruh budaya-budaya Eropa (Barat), khususnya budaya Perancis yang menjadi pusat budaya Eropa pada masa itu, seperti filsafat eksistensialis, dapat ditemukan dalam cerpen-cerpennya yang termuat dalam kumpulan cerpen IPKS. Akan tetapi, sebagai orang Batak/Indonesia (Timur), ia tidak pernah melepaskan dirinya sebagai orang Batak/Indonesia atau terlepas dari budaya akarnya. Marga Situmorang yang melekat pada namanya menandakan sebuah identitas budaya yang kuat yang selalu ia pegang teguh.
Masalah yang penulis temukan dalam cerpen-cerpen Sitor adalah adanya kesamaan kehidupan yang ada dalam kumpulan cerpen dengan kehidupan pribadi pengarangnya. Pengalaman-pengalaman Sitor sebagai pemilik kebudayaan asali, yakni Batak/Indonesia dan kebudayaan Barat, terutama Perancis yang diterimanya melalui pengembaraan te-representasi-kan melalui tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen-cerpennya. Hal ini menandakan adanya percampuran dua budaya yakni Indonesia dan Barat dalam tokoh-tokohnya. Pengembaraan tokoh ke negeri Eropa membawa pengaruh budaya yang ada pada diri tokoh dan hal ini dapat ditemukan pada ideologi dan sikap tokoh dalam kehidupannya. Hal ini mengartikan bahwa terdapat mekanisme dan proses interkultural yang digambarkan dalam cerpen-cerpen Sitor. Maka, dari uraian masalah tersebut dapat dirumuskan masalah yang ingin ditelisik adalah mekanisme interkulturalisasi seperti apakah yang terdapat dalam cerpen-cerpen Sitor. Bagaimana mekanisme interkulturalisasi itu terjadi pada tokoh-tokoh yang ada dalam cerpen serta faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perjumpaan budaya Indonesia dan budaya Barat.
Dalam cerpen-cerpen Sitor yang tergabung di dalam kumpulan cerpen Ibu Pergi ke Surga (2011) inilah penulis akan melihat bagaimana budaya Indonesia yang melekat sebagai identitas dalam diri Sitor dengan budaya Barat yang diterimanya pada saat ia merantau ke Eropa. Sitor memiliki pengalaman yang panjang akan dua kebudayaan itu. Pengalaman yang panjang dari seorang pengarang merupakan proses yang panjang dari hasil interkulturalisasi. Maka dari itu, cerpen-cerpen Sitor merupakan produk interkulturalisasi.
Tujuan dari penelitian ini menemukan dan mendeskripsikan mekanisme interkulturalisasi yang ada di dalam cerpen-cerpen Sitor dan mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perjumpaan dua kebudayaan tersebut.
Sumber: Jurnal Mlangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...