Oleh: Zalfika Ammya, S.Ikom.
Abstrak
Negeri kami bukan dewata,
Pulau antara laut bahari.
Perkenankan kami berucap kata,
Bahasa dan sastra agar lestari.
Bahasa terikat konteks budaya. Tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang (kebetulan) sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun memiliki makna yang sama, hal ini dikarenakan banyaknya budaya yang ada. Melemahnya fungsi suatu bahasa Sebagai alat transmisi budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya berarti melemah pula kekayaan budaya. Kelestarian bahasa, khususnya bahasa daerah, akan memperkuat ketahanan budaya daerah yang termasuk di dalamnya sastra lisan dan tradisi lisan.
Memanfaatkan potensi budaya daerah seperti sastra lisan dan tradisi lisan sebagai sumber pendidikan karakter merupakan revitalisasi kepribadian anak bangsa yang dibentuk melalui pendidikan yang berbasis budaya.
1. Latar belakang
Keberadaan sastra sebenarnya senantiasa dipertahankan oleh para pelaku maupun penikmat dalam berbagai kesempatan, tak luput pula dari campur tangan kebijakan pemerintah pusat dan daerah (dalam hal ini Bangka Belitung) yang saat ini gencar-gencarnya melakukan upaya-upaya pelestarian kekayaan budaya daerah ini, dengan pengadaan pementasan festival-festival budaya daerah tiap tahunnya.
Fenomena yang kita hadapi saat ini adalah terjadi perubahan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada diri anak bangsa yang semakin hari mengidolakan budaya dan bahasa impor yang sangat popular (bagi mereka). Kemajuan teknologi informasi begitu cepat mengubah pola pikir, cara pandang, dan perilaku masyarakat. Perilaku anak muda cenderung lebih egois, tak acuh, masa bodoh, dan individualis pada saat ini. Hal ini merupakan indikator terjadinya perubahan sosial. Sikap saling percaya, kejujuran, kebersamaan, tenggang rasa, merasakan penderitaan orang lain, dan tolong-menolong seolah-olah redup dalam kehidupan bangsa ini.
Bahasa yang santun yang mengakar pada budaya sudah barang langka, yang berkembang dari hari ke hari terlihat bahwa penutur menggunakan kata-kata yang kasar, tidak santun, mencela, mengejek, menyindir, bahkan vulgar. Hal ini menunjukkan bahwa anak bangsa ini memiliki perilaku bahasa yang sudah memburuk. Keadaan ini menandai sudah semakin tipis rasa bangga anak bangsa pada budaya, sebagai identitas.
Bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan. Budaya tidak akan dapat di ekspresikan tanpa bantuan media bahasa. Kehancuran suatu budaya, baik daerah maupun budaya bangsa, berawal dari menipis, dan memunahnya bahasa dan sastra daerah. Negara yang kuat dalam menghadapi tantangan globalisasi adalah negara yang berpijak pada budaya dalam pembangunan bangsanya.
Berdasarkan pemikiran di atas, makalah ini membahas upaya bersama pelaku sastra tradisi, campur tangan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa(kantorbahasa) yang juga merupakan lembaga pengusung tujuan pendidikan di negeri ini dalam mempertahankan, melindungi, dan merevitalisasi bahasa daerah, sastra lisan, dan tradisi lisan yang merupakan bagian dari kebudayaan daerah serta kebijakan pemerintah daerah untuk melestarikannya. Seperti upaya pengadaan buku-buku pelajaran muatan local.
2. Pembahasan
A. TENTANG SASTRA TRADISIONAL
Disekitar kehidupan kita banyak dijumpai berbagai hal seperti adat kebiasaan, konvensi, nilai-nilai, dan lain-lain, termasuk didalamnya sastra yang telah mewarisi secara turun temurun dan tidak diketahui secara pasti kapan munculnya semua itu. Hal itu disebabkan berbagai tradsisi tersebut, yang dalam hal ini terutama yang berwujud sastra tradsisi, berlangsung secara alamiah dan lisan sehingga tidak diketahui pasti angka tahunnya. Berbagai kebiasaan bersastra masih mengandalkan sarana lisan untuk menyampaikannya kepada orang lain dan antar generasi tersebut kini dikenal sebagai sastra tradsional.
1. Hakekat dan karakteristik sastra tradisional
Sastra tradisional terdiri dari dua kata yaitu kata sastra dan tradsional. Pengertian dari Sastra itu sendiri adalah seni yang menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan dalam sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari. Ia diolah sedemikian rupa sehingga menimbulkan nilai-nilai keindahan. Sedangkan tradisional (menurut KBBI) artinya sikap dan cara berpikir yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun (diwariskan). Jadi sastra tradisional adalah karya sastra yang diwariskan secara turun-temurun.
Adapun pengertian sastra tradsisonal Menurut Mitchell, (2003:228): Sastra tradisional (traditional literature) merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan. Manusia selalu berkomunikasi dan berekspresi sebagai salah satu manifestasi eksistensi diri dan kelompok sosialnya. Sastra Tradisional sudah dikenal sejak manusia ada di muka bumi ini, jauh sebelum mereka mengenal tulisan. Cerita merupakan sarana penting untuk memahami dunia dan mengekspresikan gagasan, ide-ide dan nilai-nilai. Selain itu sastra juga sebagai sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan dan mewariskan gagasan dan nilai-nilai dari generasi ke generasi.
Secara umum kesastraan menurut Stewig (1980:160-1), dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu (i) sastra rekaan (composed literature) dan (ii) sastra tradisional (traditional literature).
Adapun karakteristik sastra tradsional antara lain adalah:
1. Pada umumnya tidak diketahui pengarangnya karena kemunculannyapun tidak disengaja dan berlangsung dari waktu kewaktu, dan tidak sekaligus.
2. Sastra traditional merupakan milik masyarakat.
3. Merupakan sebuah warisan yang berharga dan menjadi dasar pemahaman seluruh kesastraan
4. Bersifat traditional karena hanya diwariskan secara lisan, dan bersifat personal karena tiap pencerita memiliki kebebasan untuk memilih berbagai bentuk kebahasaan sesuai dengan seleranya. dapat berubah-ubah dalam arti para pencerita yang dapat kemudian menambah atau mengurangi
5. Menurut mitthcell (2003:228) sastra traditional pada umumnya menampilkan tokoh yang bersifat sederhana san stereotip(flat and stereotypical characters) yang mempersentasikan kualitas sifat kemanusiaan tertentu
6. Dilihat dari segi alur sastra (cerita traditional) pada umumnya bersifat linear dan hanya menampilkan satu jalinan kisah.(sederhana)
7. Mencerminkan kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya
8. Cerita traditional hadir untuk memberikan pengajaran sebab masyarakat pada zaman dahulu menjadikan sarana lisan yang bergerak dari mulut kemulut merupakan sarana terpenting untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain
9. Cerita tradisional pada umumnya kurang atau tidak masuk akal, namun begitulah cara orang dahulu memaknai kehidupan dan dunia
10. Cerita traditional merupakan akar dari kata-kata dan dunia kita
2. Nilai dan fungsi sastra tradisional
Karya sastra yang baik seantiasa mengandung nilai(value). Nilai itu dikemas dalam wujud struktur jarya sastra, yang secara implicit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat atau didalam larik, kuplet, rima dan irama. Sedangkan nilai yang terkandung dalam karya sastra tradisional itu sendiri antara lain adalah:
1. Memberikan pembelajaran tentang prinsip-prinsip keadilan dan penilaian moral.
2. Merupakkan sesuatu yang berharga dalam jiwa manusia
3. Sebagai refleksi kehidupan sosial budaya masyarakt yang dijadikan latar karya
Dilihat dari fungsi kesastraan bagi kehidupan manusia, sastra tradisional ( traditional literature) mempunyai fungsi yang tidak berbeda halnya dengan kesastraan modern. Fungsi Sastra Tradisional antara lain adalah:
a. Memahami akar eksistensi manusia dan kemanusiaan serta hdup dan kehidupan pada masa lalu yang menjadi akar kehidupan dewasa ini
b. Sebagai bahan bacaan cerita Sastra(composed Literature).
c. Memfasilitasi anak untuk memahami kebesaran dimasa lalu, mengenal dan memahami “nenek moyang” yang menyebabkan eksistensi kita dimasa kini, dan belajar mengapresiasi warisan leluhur.
B. JENIS SASTRA TRADISIONAL
Dalam dunia kesastraan Indonesia dikenal adanya penanaman sastra melayu lama yang merujuk kepada berbagai jenis sastra rakyat yang dihasilkan oleh masyarakat melayu.meurut fang(1976:1) membedakan sastra rakyat Melayu lama kedalam lima macam yaitu (i) cerita asal-usul, (ii) cerita binatang, (iii)cerita jenaka, (iv) cerita pelipur lara dan (v) pantun.
Sastra tradisional terdiri dari berbagai jenis seperti mitos, legenda, fable, cerita rakyat(folktale, folklore), nyanyian rakyat dan lain-lain. Pembedaan jenis sastra tradisional tersebut sebagaimana dikemukakan Mithcell(2003:228) tidak pernah jelas.
1. Sastra Tradisional yang Berkembang Di Bangka Belitung (Khususnya Bangka)
Sebagai negeri Melayu Bangka Belitung sama dengan etnis lain banyak menyimpan tradisi lisan, sastra lisan, dan tradisi yang menggambarkan pola pikir, pandangan hidup, cara pandang, perilaku, nilai, dan moral anak-anak melayu. Semua tradisi lisan ini menunjukkan bahwa anak Melayu memiliki identitas, ideologi, kepercayaan, nilai-nilai moral yang masih dibutuhkan anak muda Melayu pada zaman kemajuan ini bahkan sampai masa yang akan datang.
Sastra Melayu Bangka Belitung itu mencerminkan kreativitas mental masyarakat Melayu Bangka Belitung yang diwujudkan dalam bentuk sastra, Puisi Lama; Pantun, Karmina, Seloka,talibun,gurindam, Dongeng; Legenda, Fabel, Mite, Hikayat, Dulmuluk (teater Rakyat), Jampi-jampi;sembur Jampi,mempunang,bebade,Petatah petitih (nasihat yang baik), Bedaek, Pantangan (tradisi lisan), Teratap, Peribahasa; ungkapan; ibarat, pepatah, Bulak ukan/ngerupai/ngerahul,Ngeruce,sumpah serapah, Ngitung palak,Syair permainan tradisional (Hasil Kajian sastra Tradisi Bangka, 1 September 2015).
Sastra tersebut merupakan sumber yang dapat menambah wawasan dan pemahaman atas sebagian warisan budaya nenek moyang. Ia memiliki nilai yang sangat tinggi, yang di dalamnya terkandung alam pikiran, perasaan, adat-istiadat, kepercayaan, dan sistem nilai masyarakat Melayu Bangka Belitung.
Melayu Bangka Belitung tidak terlepas dari budaya pantun seperti daerah-daerah melayu lainnya. Perbedaan dialeg menjadi ciri antar desa,kecamatan dan kabupaten/kota. Dari perbedaan ini melalui media pantun seharusnya dapat disatukan sehingga makna yang tersirat dalam pantun yang menjadi media komunikasi lebih mudah dimengerti tentunya menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Dari sekian banyaknya dialeg di Bangka Belitung, dialeg sungailiat dapat digunakan dalam pantun, karena yang paling mudah dipahami hal ini dapat dilihat dari seringnya dialeg sungailiat digunakan di berbagai tempat atau menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam berpantun. Hal inilah yang kurang diperhatikan oleh masyarakat pemantun Bangka Belitung dalam berpantun.
Pemahaman pantun adalah budaya melayu sehingga dalam berpantun juga harus menggunakan bahasa melayu, Pemahaman lain tentang melayu itu sendiri sering disalah artikan mengingat sering digaungkannya Malaysia dan Riau sebagai negeri melayu yang sangat kental dengan budaya melayunya sehingga pemahaman pemantun melayu Bangka Belitung mengacu kemelayu Malaysia dan Riau. Salah satu contohnya kata “awak” yang artinya aku/saya sering digunakan di Malaysia dan Riau sedangkan melayu Bangka Belitung sendiri tidak menggunakan kata tersebut dalam kesehariannya “saya” di Bangka Belitung digunakan Aku, Ku, ko,Kak. Fenomena lain kata awak itu sendiri mengacu pada penggunaan kata “awak” di Palembang yang berarti “engkau/kamu” serta penggunaan dialeg gaya bahasa melayu lain yang digunakan di Bangka Belitung.
Contoh dalam pantun:
Anak biawak berenang-renang,
sembunyi dalam air berbatu.
Anak awak semakin bujang,
sayang kerja tidak menentu.
Maksud dari isi pantun tersebut adalah “anak saya semakin bujang, Sayang pekerjaannya belum menentu. Dari pantun diatas jika digunakan justru akan terjadi salah pengertian dan akan membuat tersinggung orang yang mendengarkannya karena dapat pula diartikan “anak anda semakin bujang, Sayang pekerjaannya belum menentu” hal ini akan membuat tidak nyaman orang yang mendengarkannya seolah anaknya dipergunjingkan. Latar belakang lain yang sering dibahas adalah adanya Pemahaman beberapa pemantun bahwa pantun harus menggunakan bahasa melayu (Malaysia/Riau/tempatan) dan tidak boleh menggunakan bahasa Indonesia.
Kesalahan pemaham ini dapat pula disebabkan sedikitnya literature/buku-buku yang memuat sastra melayu Bangka Belitung sehingga penerapannya dalam dunia pendidikan pun kurang maksimal. Disisilain masih sedikitnya guru yang dapat membina siswa disekolah tentang sastra melayu Bangka Belitung.
D. PERAN DAN FUNGSI KANTOR BAHASA
Kantor Bahasa Provinsi Bangka Belitung berkedudukan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, berada di bawah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 64 tahun 2008 tentang pembentukan 8 (delapan) Kantor Bahasa(termasuk Bangka Belitung). Kantor Bahasa mempunyai tugas melaksanakan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan di bidang kebahasaan dan kesastraan di provinsi wilayah kerjanya.
Dalam melaksakanan tugas pengkajian, pengembangan, dan pembinaan di bidang kebahasaan dan kesastraan Kantor Bahasa menyelenggarakan fungsi:
a. pengkajian dan pengembangan di bidang kebahasaan dan kesastraan di provinsi wilayah kerjanya;
b. pemasyarakatan bahasa dan sastra Indonesia di provinsi wilayah kerjanya;
c. fasilitasi pelaksanaan pengkajian dan pengembangan di bidang kebahasaan dan kesastraan di provinsi wilayah kerjanya; dan
d. pelaksanaan urusan ketatausahaan Kantor Bahasa
Terpaan arus global dan kemajuan teknologi telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap perkembangan bahasa-bahasa di Indonesia. Bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah, seakan-akan menjadi subordinasi bahasa asing (terutama bahasa Inggris) yang perannya begitu penting dalam komunikasi di bidang Iptek dan ekonomi. Tatanan kehidupan yang semula serba sentralistik, termasuk pengelolaan masalah bahasa dan sastra, telah berubah menjadi desentralistik, semenjak digulirkannya gerakan reformasi (sejak 1998).
Sebagai akibatnya, kewenangan pemerintah pusat hanya terbatas pada pengelolaan masalah bahasa dan sastra Indonesia, sedangkan pemerintah daerah terbatas pula pada pengelolaan masalah bahasa dan sastra daerah. Dalam menghadapi perubahan seperti itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu membangun sinergi yang berwawasan jauh ke depan dalam pengelolaan masalah bahasa dan sastra agar upaya pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia dapat dilakukan secara berdampingan dengan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra daerah, termasuk pengajarannya. Strategi untuk memantapkan peran bahasa, meningkatkan mutu bahasa, dan meningkatkan mutu penggunaan bahasa (terutama bahasa Indonesia dan bahasa daerah), dengan demikian, perlu dirumuskan kembali.
Untuk meningkatkan upaya perlindungan pemberdyaan dan pemanfaatan bahasa,sastra dan aksara darah, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Pengembangan, Pembinaan, Dan Pelindungan Bahasa Dan Sastra, Serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, Kantor Bahasa akan bekerja sama dengan berbagai pihak (pemerintah daerah, sekolah, organisasi profesi, dll.) Namun demikian kesiapan didaerah untuk melaksanakannya belum maksimal.
E. KEBIJAKAN
Kebijakan Badan Pengembangan dan Pelindungan Bahasa berkaitan dengan Tradisi Lisan. Kebijakan merupakan campur tangan yang dilaksanakan satu instansi atau lembaga terhadap suatu fenomena yang ada dalam kehidupan sosial masyakat. Hal ini tentu lebih kental dengan keputusan-keputusan politis yang diambil oleh negara melalui instansi pemerintah yang diberi tanggung jawab tentang suatu hal.
1. Kebijakan Pemerintah
Pendidikan yang berbasis budaya kini kembali diterapkan. Namun dalam pelaksanaannya masih berorientasi pada pendidikan kapitalisme dan imperialisme barat. Pembangunan moral tidak diseimbangkan dengan pembangunan materi. Hal yang berkaitan dengan budaya, seperti tradisi, tradisi lisan, sastra lisan, budaya lokal sebagai entitas yang unggul untuk menciptakan manusia yang dapat bersaing secara sehat dalam hidup dan kehidupannya tidak banyak digubris para pelaku pendidikan untuk dijadikan sebagai dasar pendidikan . Artinya, pendidikan di Indonesia belum berhasil membentuk manusia Indonesia yang cerdas berbasis budaya. Sementara itu, manusia yang hemat, mau bekerja keras, loyal, dan penuh daya juanglah yang akan dapat memenangkan persaingan global secara baik.
Bangsa Indonesia kaya dengan khasanah budaya yang dapat dijadikan sebagai landasan dan arah pendidikan kita. Dieter Mark (1996) mengemukakan bahwa pembangunan suatu bangsa yang mengabaikan kebudayaan akan melemahkan sendi-sendi kehidupan bangsa itu sendiri. Pembangunan yang tidak berakar pada dasar budayanya akan mengakibatkan hilangnya kepribadian dan jati diri bangsa yang bersangkutan. Bangsa yang demikian pada gilirannya akan lemah dalam menghadapi persaingan global bahkan pada akhirnya bisa runtuh, baik yang disebabkan kuatnya tekanan pengaruh dari luar maupun oleh pengeroposan dalam tubuhnya sendiri.
Setiap etnis memiliki bahasa dan sastra yang unik dan menarik yang dapat memutar roda kehidupan penuturnya. Di nusantara ini diberbagai daerah hidup budaya lokal yang menggambarkan pola pikir, filsafat hidup, dan perilaku keseharian pemiliknya.
Sastra lisan dan tradisi lisan merupakan potret kehidupan masyarakat di masa lampau. Keduanya juga merupakan luapan emosi kejiawaan pemiliknya. Dalam kehidupan sekelompok orang terukir cara pandang, pola pikir, tata kelola alam, masyarakat, dan lingkungannya, serta adanya aturan keseimbangan antara manusia dan alam, pemikiran yang jernih melihat kehidupan sebagai fenomena kebersaamaan, toleran, rasa cinta, saling membutuhkan bukan sebagai perlombaan capaian materi terkubur dalam tradisi lisan dan sastra lisan. Beragam pembelajaran moral dan etika ada di dalam kedua kekayaan produk budaya masa silam ini. Masalahnya, kita tidak banyak melirik khasanah harta karun yang begitu besar ini untuk dijadikan dasar berbangsa dan bernegera melalui pendidikan.
Tradisi lisan merupakan ungkapan emosi suatu kelompok atau etnis yang mengutamakan bahasa sebagai alat ekspresi yang dilengketkan dengan gerak berupa tarian, upacara, kegiatan ekonomi (bertani, berlayar, menangkap ikan, berburu, dll). Berkaitan dengan pemanfaatan bahasa sebagai media ekspresi dalam folklor dan tradisi lisan maka pelindungan bahasa terutama pemertahanan bahasa sangatlah tepat.
2. Kebijakan Pemerintah Daerah
Pengertian Melayu seringkali dipahami dengan cara pandang yang sempit sehingga membentuk pemikiran dan pengertian yang terkungkung dalam lingkaran parsial. Istilah Melayu pada akhirnya kerap ditinjau lewat sudut pandang tertentu, bahkan oleh kalangan ilmuan dan orang Melayu sendiri, yang nyaris selalu didefinisikan melalui sekat-sekat perspektif, termasuk lewat pandangan linguistik, politik, geografi, etnik, dan agama. Salah kaprah dalam memaknai Melayu inilah yang kemudian justru membuat kebesaran rumpun Melayu semakin lama semakin tergerus dan kian lirih gaungnya Masyarakat Bangka Belitung secara gradual lewat kedatangan penduduk dari beberapa wilayah sekitar Bangka Belitung, maka tak aneh jika Bangka Belitung memiliki kekayaan bahasa dengan fonetis yang beragam.
Untuk mengembalikan ciri melayu Bangka Belitung, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah baik Provinsi ataupun kabupaten/kota. Termasuk pembentukan lembaga adat dan dewan kesenian. Namun dalam pelaksanaan program dua lembaga yang sangat berperan dalam pelestarian sastra tradisional kurang mendapat dukungan dari pemerintah sendiri. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah provinsi adalah;mewajibkan Pantun dalan sambutan-sambutan kedinasan atau acara tradisi, baik oleh pemerintah atau masyarakat. Sayangnya pantun yang tersusun dalam sambutan tersebut sejadinya pantun;makna yang terkandung didalamnya dapat dikatakan asal jadi.
Selain itu buku-buku bacaan yang memuat tentang sastra dan budaya daerah sangat minim sekali, jika ada itu hanya inisiatif orang perorangan yang pemanfaatannyapun tertentu pula. Dibandingkan dengan sastra modern atau seni lain di Bangka Belitung yang lebih sering ditampilkan,dipelajari,dan diperlombakan sehingga kini dirasakan lebih berkembang. Sastra tradisional seharusnya dapat dijadikan sumber untuk sastra modern atau seni lain, mengingat belum adanya pemindahan dari lisan kedalam bentuk buku maka dikhawatirkan penggunaannya kurang tepat.
Kebijakan tentu tidak dapat dibuat begitu saja tanpa melihat peta apa yang sudah dilakukan selama ini oleh pemerintah dan ilmiah atau kalangan akademisi. Yang perlu diperhatikan sebelum membuat kebijakan di antaranya perlu dilihat kajian yang menyangkut tradisi lisan. Pemetaan yang dimaksud dalam kebijakan ini adalah usaha untuk menggambarkan jumlah varian dialek bahasa dan sastra Melayu di Bangka Belitung. Hal yang dipetakan selain jumlah dialek bahasa dan sastra Melayu di daerah ini termasuk jumlah penutur, jumlah satra lisan dan tradisi lisan yang masih bagian khasanah budaya. Penduduk Melayu yang tersebar di berbagai desa tentu memiliki sastra lisan dan tradisi lisan yang berbeda dan tidak tertutup kemungkinan ada yang sama. Semua ini akan dilihat dengan mengadakan pemetaan bahasa, sastra, dan tradisi lisan.
Bahasa Melayu di Provinsi Bangka Belitung yang merupakan harta karun budaya bangsa, beraneka ragam keindahan tradisi, pengetahuan, dan teknologi memang belum terancam punah. Namun, sastra lisan dan tradisi lisan boleh dikatakan belum difungsikan secara baik di tengah masyarakat sebagai hiburan rakyat pengiring acara ritual acara adat dan kegiatan sosial yang lain. Artinya, eksistensi tradisi lisan dan sastra lisan dalam komunitas masyarakat adat Melayu sudah mulai redup, tidak mewarnai kehidupan orang melayu itu sendiri.
Keragaman dialek dan bahasa Melayu diberbagai daerah Bangka Belitung sepertinya mulai terancam bergeser pada dialek bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional kita. Hal ini disebabkan gencarnya pemasyarakatan bahasa Indonesia di media cetak, media elektronik, dan penggunaan bahasa Indonesia di ranah pendidikan. Pertemuan adat yang bersifat ritual yang diadakan di desa, bahasa Indonesia yang resmi sudah banyak digunakan. Hal ini ditandai dengan adanya alih kode, campur kode, dan penggantiannya.
Pelestarianan bahasa daerah yang ada di daerah Provinsi Bangka Belitung sepertinya belum ada kebijakan khusus yang dibuat oleh pemerintah. Bahasa daerah belum diajarkan atau tidak dijadikan sebagai alat interaksi dalam dunia pendidikan walaupun itu tingkat sekolah dasar, guru dan murid, bahan cetak, serta buku ditulis dalam bahasa Indonesia sehingga frekuensi ruang bahasa daerah semakin sempit. Hal ini membuat lulusan sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi enggan, malu, bahkan merasa tidak nyaman menggunakan bahasa daerah. Fenomena ini juga mengakibatkan generasi muda tidak lagi mengenal tradisi dan tradisi lisanya karena mereka sudah kehilangan bahasa ibu atau aslinya akibat kebijakan pendidikan yang tidak berpihak pada bahasa lokal. Lebih jauh kehilangan bahasa lokal merupakan jalan yang mulus untuk menghilangkan budaya lokal termasuk di dalamnya satra lisan, tradisi lisan seperti tradisi berpantun.
Muatan lokal yang ada di sekolah-sekolah bukanlah bahasa dan sastra daerah yang memunculkan pendidikan kearifan lokal berupa nilai-nilai, moral, aturan kemasyarakatan, hukum-hukum sosial yang bersumber dari bahasa lokal. Tradisi lisan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan pendidikan yang tidak disentuh oleh bahan ajar di sekolah.
F. Penutup
Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam memberi roh pada budaya termasuk sastra tradisional dan tradisi lisan, di antaranya menerapkan pendekatan integratif dan partispasif. Pendekatan integrative berusaha menangkap isu yang tidak hanya terbatas pada isu budaya yang ada, tetapi juga isu-isu lain yang berpengaruh terhadap eksistensi sebuah budaya, seperti kelestarian lingkungan hidup, akses terhadap sumber daya alam, dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Pendekatan partisipatif diterapkan untuk menjamin keterlibatan masyarakat pemilik budaya dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan budaya meraka. Dengan demikian, proses transformasi dan aktualisasi dijalankan secara sadar dan sukarela, bukan atas dasar ketidaktahuan atau paksaan.
Suatu bahasa sebagai salah satu identitas suatu masyarakat memiliki kemungkinan akan hilang dari masyarakatnya, terpengaruh arus globalisasi, lalu terbentuklah bahasa-bahasa baru. Sebagai masyarakat yang lebih dekat dengan tradisi lisan, masyarakat Bangka Belitung memerlukan pengembangan tradisi literasi sebagai salah satu upaya pelestarian bahasa. Tradisi yang menyandingkan kegiatan baca dan tulis dalam suasana yang sehat dan kreatif. Keberadaan cerpen/cerita rakyat dan puisi lama/modern berbahasa Bangka Belitung merupakan salah satu upaya pelestarian bahasa Bangka yang dapat diandalkan.
Meskipun ia dihasilkan oleh individu-individu pengarang, masyarakat memerlukan peran dan dukungan pemerintah serta berbagai pihak terkait lainnnya untuk menopang upaya pelestarian ini. Pemerintah dapat memfasilitasi penerbitan karya-karya bermutu, lebih daripada itu juga melakukan upaya penyosialisasiannya kepada masyarakat pembaca misalnya dengan mengadakan kegiatan rutin dengan topik sastra berbahasa Bangka Belitung baik ditempat terbuka, atau di media elektronik dan cetak.
Sastra Berbahasa Bangka dapat diaplikasikan dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Ini disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku pada tiap tingkatan. Ini berarti, pada pembelajaran sastra, siswa-siswa di Bangka Belitung tidak hanya mempelajari sastra berbahasa Indonesia tapi juga mempelajari sastra berbahasa Bangka.
Selain mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata pelajaran Muatan Lokal dapat pula dipakai sebagai upaya pelestarian bahasa Bangka. Baik melalui pembelajaran bahasa Bangkanya maupun melalui pembelajaran seni budayanya yang menggunakan bahasa Bangka sebagai media.
Buah durian biji selasih,
batang tumbuh di pulau tujuh.
Demikian dan terima kasih,
salam sembah jari sepuluh.
Sumber: Makalah Temu Sastrawan pada Pekan Sastra Balai/Kantor Bahasa Regional Sumatra 2015
Betutur lisan rasa di hati
BalasHapusJangan lupa kembang selasih
Tulisan tuan cukup berarti
Saya ucapkan terimakasih