Oleh: Nukman
I
Ketika topik tradisi lisan diajukan dalam forum dialog Bahasa dan Sastra dengan Komunitas, ada harapan munculnya kesepahaman bahwa tradisi lisan dapat menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia(sesuai dengan tema dialog). Tradisi lisan yang dimaksud tidak hanya mencakup cerita, mitos, legenda, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, dan berbagai hasil seni .
Tradisi lisan menuntun kita mengenali berbagai aspek sosial dan aspek budaya. Aspek sosial dipahami sebagai hal-hal yang berkaitan dengan pelaku yang terlibat dalam tradisi lisan, tujuan diadakannya tradisi lisan, serta bagaimana penyelenggaraan tradisi lisan tersebut. Sementara aspek budaya berkaitan dengan subtansi dari tradisi lisan, kaidah-kaidah tradisi lisan, serta makna dari simbol yang ada dalam tradisi lisan. Selain masalah aspek budaya dan sosial, di dalam tradisi lisan juga dapat diungkap aspek kelisanan, aspek kelisanan yang dimaksud salah satunya adalah formula.
Dari formula yang digunakan inilah para penutur tradisi lisan dapat menciptakan kembali secara spontan tuturannya dengan memakai sejumlah besar unsur bahasa. Pada konteks lain sebuah disertasi yang ditulis Tuloli dengan judul Tanggomo memberi penegasan atas fungsi penting dari formula, dia menyimpulkan bahwa fungsi formula itu terdiri atas: (1)memudahkan daya ingat tukang cerita terhadap garis besar cerita yang akan dirakit menjadi cerita yang utuh pada saat penampilan, oleh Sweeney hal ini disebut dengan skema cerita.(2) memudahkan pencerita untuk menyusun baris-baris yang sama polanya dalam waktu yang singkat pada saat bercerita, (3) memperindah cara penceritaan karena irama akan teratur oleh adanya perulangan formula-formula pada pola-pola baris yang sama, dan (4) pencerita melahirkan arti atau makna cerita secara tepat dalam baris atau bentuk sintaksis dan ritme tertentu.
Dalam Tradisi lisan Melayu Jambi, saya meyakini penutur tradisi lisan kita pun memiliki kekuatan bercerita di atas kontruksi formula itu, sebut saja peseloko (penutur seloko adat), dari pengendapan pemahaman secara alamiah dalam diri peseloko itulah yang menyebabkan serentetan falsafah adat yang ada dalam seloko dapat dituturkan. Peran penting seloko sebagai pondasi hidup bermasyarakat bagi masyarakat melayu Jambi inilah yang terkadang melahirkan asumsi bahwa jika tak ada seloko, maka tak ada adat , begitulah hubungan keduanya.
II
Kita menyadari bahwa keberadaan tradisi lisan Melayu Jambi berjalan seiring dengan aktivitas masyarakatnya, hal inilah yang menyebabkan lahirnya keragaman tradisi yang kita miliki pada setiap Kab/Kota dalam wilayah Provinsi Jambi, keragaman ini di satu sisi merupakan kekayaan budaya, tetapi di sisi lain juga rentan menimbulkan konflik. Konflik ini muncul jika keragaman tradisi lisan dengan persebarannya dibatasi pada pengertian batas administratif, untuk kemudian menjadikan kita lupa, bahwa di balik keragaman tersebut terdapat manfaat penguatan hubungan sosial untuk bangunan kebangsaan. Bahkan secara ekonomis, manfaat keragaman itu juga berkaitan dengan kesejahteraan, pembangunan pariwisata budaya, dan industri kreatif. Hal inilah kemudian menjadi anggapan bahwa tradisi lisan mampu menjadi perekat NKRI.
Lalu bagaimanakah kondisi tradisi lisan Jambi? Untuk jawaban atas pertanyaan ini, maka kita dapat melihat beberapa gejaja, yakni ketiadaan penutur, dan perubahan fungsi tradisi lisan dalam kehidupan masyarakatnya. Penciptaan ruang sosial yang kondusif bagi setiap bentuk tradisi lisan akan berdampak terhadap kehidupan tradisi lisan itu sendiri, penutur tradisi lisan yang merupakan bagian dari komunitasnnya akan memiliki kenyamanan tersendiri jika komunitasnya memberi ruang ekspresi untuk kelisanannya.
Sebut saja Ibrahim (Penutur Tupai Jenjang dari Koto Rendah Kerinci), yang saat ini kehilangan ruang untuk menuturkan cerita tupai jenjang di komunitasnya, hal ini disebabkan oleh munculnya pilihan hiburan lain sebagai pengisi acara syukuran sunatan, naik rumah, dan sehabis panen. Penyebab inilah yang kemudian menjadikan ketiadaan ruang untuk mewarisi tradisi ini, Ibrahim hanya mengandalkan pewarisan secara alamiah, padahal pewarisan dengan cara seperti ini tidak epektif dalam perubahan iklim kebudayaan yang berjalan begitu cepat. Kondisi seperti inilah yang mengakibatkan lahirnya potensi menghilangnya tradisi lisan pada sebuah komunitas masyarakatnya.
Saya teringat paparan Pudentia dalam beberapa kesempatan di pertemuan Asosiasi Tradisi Lisan bahwa menghilangnya tradisi dari ingatan memori pemiliknya atau punahnya tradisi bersamaan dengan “punah”-nya penutur atau pemilik tradisi berarti terjadinya sebuah bencana budaya.
Bencana jenis ini memang tak tampak secara langsung karena bukan seperti bencana alam atau bencana pertikaian antar manusia yang langsung dapat dikenali dan dirasakan akibatnya pada saat terjadi. Bencana budaya sangat potensial mengakibatkan bencana lainnya yang berakibat fatal pada hilangnya identitas dan karakter bangsa, pemicu masalah sosial, bencana alam, dan pertikaian antarmanusia, serta hancurnya peradaban dalam arti luas.
Selain itu, “punah”-nya penutur atau pemilik tradisi lisan sama halnya kita telah kehilangan satu entri ensiklopedia kebudayaan komunitas masyarakat. Dengan demikian, maka diperlukan langkah strategis dalam upaya penyelematan tradisi, misalnya memberi tawaran tentang pola pewarisan tradisi lisan dari alamiah(non formal) ke non-alamiah (formal), melakukan upaya pemetaan, inventarisasi, dan dokumentasi tradisi lisan, dan memberi penghargaan kepada maestro tradisi. Langkah-langkah seperti inilah untuk pertama kalinya digagas oleh ATL.
Dalam perkembangan lebih lanjut, munculnya beberapa perguruan tinggi seni turut mendorong terciptanya pewarisan tradisi lisan secara formal. Misalnya, menghadirkan maestro tradisi ke perguruan tinggi untuk mengajarkan ragam tradisi yang dimilikinya. Iklim ini, secara tidak langsung akan meminimalisasi dampak kepunahan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat kita hari ini.
Legalisasi atas upaya untuk menjaga tradisi lisan sebagai warisan budaya juga muncul di berbagai negara di dunia, UNESCO dalam hal ini telah memayunginya dengan berbagai program seperti “World Heritage”, “Memory of The World”, hingga hadirnya konvensi perlindungan budaya (Convention of Safeguarding Intangiable Cultural Heritage, 2004) yang diratifikasi berbagai negara anggotanya, termasuk Indonesia.
III
Meminimalisasi kepunahan tradisi lisan yang ada di Jambi, dalam beberapa dekade, gerakan ini telah diwujudkan melalui program perlindungan, pemeliharaan, dan revitalisasi Tradisi lisan, lembaga yang ada di Jambi secara sadar meyakini betapa pentingnya menjaga tradisi lisan sebagai warisan budaya. Implementasi atas itu semua maka lahirlah beberapa program pergelaran tradisi lisan, revitalisasi, dan beberapa kegiatan lainnya untuk tujuan pemertahanan.
Gerakan bersama dalam upaya meminimalisasi kepunahan tradisi lisan di Jambi haruslah berdasarkan pengamatan atas perkembangan tradisi lisan itu sendiri. Kita tidak bisa semerta-merta memaksa sebuah kerangka pikir kita dengan serentetan program kerja pelesterian atau apapun istilahnya kepada masyarakat tradisi, hal tersebut bertujuan agar komunitas tradisi, secara perlahan dapat memahmi maksud dan tujuan yang diinginkan.
Saya terilhami dengan tahapan kerja pengelolaan tradisi lisan yang telah dilakukan oleh Asosiasi Tradisi Lisan yang dikomandoi Dr. Pudentia. Rentetan kerja pengelolaan yang dibagi ke dalam beberapa tahapan dapat menjadi pedoman bagi kita selaku pelestari tradisi. Tahapan itu diawali dengan upaya Perlindungan yang akan mencakupi kegiatan inventarisasi, klasifikasi, pemetaan, dokumentasi, dan pendaftaran/registrasi secara lokal, nasional, regional, dan internasional. Tahap kedua merupakan kegiatan Pemeliharaan atau Perawatan yang meliputi kegiatan dokumentasi,pendeskripsian, pementasan, dan pengkajian. Dan tahapan terakhir, yaitu kegiatan Revitalisasi yang hanya dapat dilakukan dengan persyaratan khusus, yaitu sepanjang masyarakat pemilik masih menginginkannya, maka berarti juga masih berfungsi bagi mereka, dan dapat dikatakan tradisi tersebut mempunyai daya hidup yang lebih panjang dan lebih luas wilayah publiknya dan dimungkinkan tidak saja menjadi warisan budaya komunitas lokalnya, tetapi menjadi warisan budaya bangsa dan antarbangsa.
Sumber: Tentang Kita dan Mereka: Kumpulan Makalah Dialog Bahasa dan Sastra dengan Komunitas Masyarakat Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...