Oleh: Afriyendy Gusti
Pendahuluan
Sebagai salah satu unsur kebudayaan, bahasa memiliki posisi strategis untuk mempertahankan nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah kebudayaan. Secara antropologis, kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia secara bersama dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985:180).
Berdasarkan definisi tersebut, kebudayaan dapat diamati dari tiga bagian, yakni (1) sistem gagasan atau ide, (2) perilaku atau tindakan, dan (3) artefak atau hasil karya. Menurut Koentjaraningrat, ide atau gagasan tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berkaitan hingga pada akhirnya menjadi suatu sistem atau dikenal dengan istilah sistem budaya. Sistem budaya tersebut kemudian diinternalisasi kembali oleh individu, salah satunya sebagai pedoman dalam hidup bermasyarakat.
Dengan kata lain, Adanya nilai-nilai yang sama yang diacu oleh masyarakat berimplikasi pada terciptanya pola-pola tertentu dalam interaksi sosial. Pola-pola inilah yang dapat diamati. Aktivitas individu-individu yang berpola ini merupakan wujud kebudayaan yang kedua, yakni kebudayaan sebagai aktivitas. Internalisasi dari kebudayaan berupa gagasan tadi juga diwujudkan melalui simbol-simbol eksplisit teramati yang berkaitan dengan kehidupan, termasuk dalam bangunan atau benda-benda. Untuk wujud ini, jamak ditemui hasil karya fisik dari suatu masyarakat yang melambangkan nilai-nilai yang menjadi filosofi hidup mereka seperti bentuk bangunan rumah, ukiran, maupun tempat-tempat pemujaan. Hal ini yang kemudian dimaknai sebagai wujud ketiga dari kebudayaan, yakni kebudayaan berupa artefak.
Bahasa, sebagai salah satu produk kebudayaan, secara simultan berfungsi sebagai alat komunikasi antarindividu pemilik budaya dan sekaligus identitas kebudayaan tersebut. Sebagai alat komunikasi, bahasa menjadi jembatan interaksi antarindividu, sedangkan sebagai identitas, bahasa memberikan informasi tentang apa pun yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan melalui kosakata dan sistem komunikasi yang digunakan masyarakat pemilik kebudayaan. Inilah yang menjelaskan posisi strategis bahasa dalam kebudayaan.
Bahasa dan Sastra dalam Paradigma Evaluasi
Bahasa dan sastra Indonesia hingga saat ini memang telah menjadi bagian penting dalam kehidupan berbangsa. Asumsi ini dapat dibuktikan dengan ditetapkannya Bahasa (dan sastra) Indonesia sebagai mata pelajaran mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga tinggi. Secara simultan, hal ini sekaligus menjelaskan implementasi dari pasal 36 Undang-Undang Dasar 45 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan bukan lagi sekadar wacana.
Merujuk kepada definisi kebudayaan sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, penetapan Bahasa Indonesia sebagai mata ajar pada setiap jenjang pendidikan tersebut merupakan wujud dari pewarisan kebudayaan. Pewarisan ini tentu berkorelasi dengan adanya kesadaran akan pentingnya mempertahankan sekaligus memperkuat bahasa Indonesia dengan segenap nilai-nilai yang menjadi ciri kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat keberhasilan upaya pewarisan tersebut, pihak-pihak terkait telah melakukan upaya pengevaluasian dalam beberapa bentuk. Bentuk pengevaluasian yang paling umum adalah pelaksanaan ujian untuk setiap tingkat pendidikan. Pelaksanaan ujian ini dianggap sebagai bentuk paling efektif sebagai ukuran keberhasilan pewarisan sesuai dengan ukuran atau jenjang pendidikan.
Permasalahannya adalah evaluasi pelajaran dengan metode pengujian standar ini tidak cukup mampu mengungkapkan daya kreativitas dan keterampilan berbahasa. Siswa, fokus pembicaraan dalam makalah ini, terkondisikan sebagai peserta pasif konsekuensi dominasi soal-soal berbasis teks dan/atau teoretis. Pada satu sisi, kondisi ini dapat dipahami sebagai konsekuensi penerapan teknik tulis atau isian terbatas untuk mengetahui pengetahuan dan kemampuan berbahasa dan bersastra siswa.
Akan tetapi pada sisi lain, kreativitas dan keahlian siswa tidak dapat terakomodasi melalui cara ini. Upaya-upaya praktikum menjadi alternatif untuk mengetahui kemampuan penguasaan siswa. Sayangnya, upaya ini umumnya masih terbatas pada proses transfomasi pengetahuan guru atau individu pendidik kepada siswa. Permasalahannya, transformasi ini sering terkendala disebabkan berbagai alasan seperti tingkat pengetahuan dan fasilitas.
Hambatan-hambatan ini sebenarnya telah memiliki solusi ketika pemerintah memberikan ruang untuk kegiatan ekstrakurikuler. Secara definitif, kegiatan ekstrakuler memang berada di luar kurikulum, tetapi secara substansi pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan melalui kegiatan ekstrakurikuler mampu mendukung peningkatan bidang ilmu yang diajarkan sebagai mata pelajaran. Pembentukan sanggar atau klub bahasa dan sastra, misalnya, akan berkorelasi dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Kesenian.
Bagian inilah yang membuka ruang untuk pengevaluasian kemampuan dan pengetahuan siswa. Meskipun evaluasi tidak memiliki konsekuensi terhadap kelulusan siswa, perumusan program dan ketercapaian tujuan kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerjasama, dan kemandirian peserta didik secara optimal dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam pasal kedua Permendikbud nomor 62 tentang Kegiatan Ekstrakurikuler pada Pendidikan Dasar dan Menengah dapat dimaksimalkan.
Lomba Bahasa dan Sastra sebagai Objek Evaluasi
Evaluasi merupakan upaya untuk menilai. Penilaian tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi data tentang objek yang dievaluasi. Data ini kemudian dapat dijadikan rujukan untuk melakukan perbaikan atau pemaksimalan nilai objek evaluasi pada masa berikutnya. Sebelum melakukan evaluasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni objek yang akan evaluasi, metodologi atau proses mengevaluasi objek, waktu melakukan evaluasi, alasan yang menjadi dasar dilakukannya evaluasi, tempat atau kondisi yang akan dipilih untuk melakukan evaluasi, hingga individu yang terlibat dalam proses evaluasi.
Perlombaan yang berhubungan dengan bahasa dan sastra yang dilakukan di Provinsi Jambi umumnya diselenggarakan oleh institusi pemerintahan. Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N), misalnya, merupakan perhelatan nasional berjenjang dengan substansi lomba yang memasukkan unsur bahasa dan sastra dalam beberapa bagiannya. Kegiatan ini mengakomodasi siswa mulai dari tingkat dasar hingga menengah. Selain itu, Lomba Cerdas-Cermat, Menulis Karya Ilmiah, Menulis Kreatif atau Esai, Menulis Cerita Pendek, Menulis atau Cipta Puisi, Duta Bahasa, Duta Pariwisata, Bercerita atau Mendongeng, Musikalisasi Puisi, dan Berbalas Pantun adalah beberapa contoh perlombaan yang hingga saat ini masih dilakukan.
Maraknya bidang lomba yang diselenggarakan tersebut, ternyata tidak berbanding lurus dengan hasil yang diharapkan. Setiap lomba memang menghasilkan pemenang, tetapi pembinaan lanjutan sebagai upaya menjaga konsistensi pengalaman belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Indikator ini dapat dilihat dari minimnya wadah-wadah ekstrakurikuler aktif bidang bahasa dan sastra di sekolah-sekolah. Untuk Kota Jambi, wadah ekstrakurikuer aktif berupa sanggar bahasa dan/atau sastra belum merata di setiap sekolah. Sekolah-sekolah lain sebagian memiliki sanggar, tetapi tidak berkegiatan secara konsisten,bahkan ada sekolah yang belum mengaktifkan sanggar di bidang kebahasaan dan kesastraan.
Hal ini tentu menjadi sebuah fakta menyedihkan jika dibandingkan dengan eskalasi perlombaan di bidang kebahasaan dan kesastraan setiap tahunnya. Upaya pembinaan pascalomba tentunya menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh institusi terutama yang terkait langsung dengan sekolah. Untuk itu, perlu ada terobosan dan kerja sama aktif dari institusi penyelenggara lomba.
Berdasarkan pengalaman menjadi juri dan wawancara dengan beberapa individu yang pernah dilibatkan dalam perlombaan kebahasaan dan kesastraan juga ditemukan beberapa permasalahan yang jika tidak segera diselesaikan akan berdampak pada pencapaian kualitas kegiatan atau lomba. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Undangan atau pemberitahuan yang mendadak mendekati waktu pelaksanaan terutama untuk juri;
2. waktu pertemuan teknis (technical meeting) dilakukan di hari pelaksanaan lomba bahkan ada yang hanya mengandalkan informasi minim yang dilampirkan dalam undangan kegiatan;
3. panitia pelaksana tidak proaktif dalam pelaksanaan kegiatan;
4. minimnya fasilitas pendukung kegiatan;
5. juri tidak objektif dan/atau tidak kompeten; dan
6. minimnya fasilitas untuk juri seperti pemberian honor dan piagam.
Permasalahan di atas memang tidak berlaku menyeluruh untuk setiap mata lomba. Ada mata lomba yang hanya terkendala pada satu poin. Sebaliknya, adakalanya pelaksanaan lomba yang tidak memiliki enam poin permasalahan di atas, tetapi terkendala dalam hal kelanjutan upaya pembinaan.
Dihubungkan dengan siswa sebagai objek pembahasan, peran Dinas Pendidikan memang menjadi harapan utama. Harapan-harapan akan sikap mau merangkul unsur-unsur dan lembaga lain yang juga sama-sama memiliki perhatian terhadap dunia pendidikan sebagai media pewarisan seakan tidak pernah lelah menunggu terkabul. Harapan-harapan tersebut tidak bermaksud untuk membebani Dinas Pendidikan sebagai satu-satunya penanggung jawab. Maraknya sanggar-sanggar dan komunitas bahasa dan sastra independen yang terbentuk di luar sekolah merupakan bukti upaya simultan pewarisan. Teater Air, Teater Tonggak, Sanggar Sekintang Dayo, Sanggar Mindulahin, Sanggar Seni Budaya Melayu Jambi adalah beberapa sanggar di Kota Jambi yang terus berkegiatan. Di kabupaten-kabupaten di Provinsi Jambi, hal itu tetap diupayakan seperti Tebo Art Community (Tebo), Sanggar Kubu Bungo (Bungo), dan Sanggar Imaji (Merangin).
Penutup
Pemertahanan nilai-nilai budaya memang harus dilakukan. Hegemoni dan infiltrasi budaya asing tiada henti menggerogoti kebudayaan kita. Pewarisan adalah upaya utama yang tetap harus dilaksanakan. Bouman, budayawan Belanda, pernah menuliskan bahwa tidak ada gejala-gejala dalam masyarakat yang dapat ditinjau lepas dari latar belakang kebudayaan dan sejarahnya. Hal ini seolah menegaskan bahwa kebudayaan dan sejarah akan selalu beriringan untuk menjelaskan fenomena hari ini. Jambi sebagai entitas kebudayaan, tentunya akan memilih jalan terbaik untuk masa depannya. Evaluasi yang berkesinambungan, objektif, dan konsisten terhadap penyeleggaraan lomba kebahasaan dan kesastraa sebagai bagian dari unsur kebudayaan tentu akan berdampak positif terhadap strategi pemertahanan dan penguatan nilai-nilai budaya masyarakatnya. Sebagaimana aforisme bahasa menunjukkan bangsa, penataan dan perencanaan bahasa dan sastra di Jambi tentunya diharapkan akan berdampak positif pada pembangunan kebudayaan menuju peradaban. Pada bagian inilah diperlukan sebuah strategi yang betul-betul matang, sebagaimana Peursen menegaskan pentingnya sebuah perencanaan untuk masa depan melalui strategi kebudayaan. Salam.
Sumber: Tentang Kita dan Mereka: Kumpulan Makalah Dialog Bahasa dan Sastra dengan Komunitas Masyarakat Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...