Oleh: Muhammad Ikhsan
Pengantar
Teater, sebagaimana halnya dengan bentuk kesenian lainnya, adalah hasil kumulatif kreativitas manusia dalam sebuah peradaban yang muncul pada zamannya. Teater adalah perwujudan kebudayaan manusia dalam pergumulannya dengan semesta.
Melalui teater, manusia mampu menyadarkan “kemanusiaan” dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan –selain sebagai kreator tentunya- dengan segenap kemampuan berimajinasi, cerdas, dan kritis dalam mengolah segala keterampilannya ke dalam sebuah keutuhan totalitas dan memiliki nilai. Kemampuan manusia tersebut tentu saja merupakan buah dari kesabaran dalam menjalani apa yang kemudian dinamakan dengan proses.
Dalam definisi lain, teater bisa ditahbiskan sebagai “institusi pendidikan” yang bertanggung jawab untuk memanusiakan manusia dengan segenap aspek moral dan norma sosial dalam konvensi yang disepakati. Dengan demikian, dapat dilihat antara teater dengan kandungan nilai-nilai kemanusiaannya dan manusia sebagai pengusungnya memiliki relasi simbiosis mutualisme yang sangat erat sebagai sebuah jaringan kolektif dalam spirit yang positif.
Sebagai bentuk seni, teater jelas berbeda dengan karya sastra lain seperti prosa atau puisi. Teater dianggap ada apabila ia telah dipertunjukkan di atas panggung dan dinikmati oleh banyak orang. Di dalam teater (baca: pertunjukan) bermukim berbagai komponen disiplin ilmu seperti seni gerak, seni suara, atau seni musik yang saling berintegrasi satu sama lain. Karena itu, dalam teater dibutuhkan harmonisasi dari keseluruhan komponen pendukungnya agar terus berjalan secara militan tanpa harus berjarak satu sama lain, tanpa harus merasa terasing, asing, dan diasingkan.
Komponen-komponen Seni dalam Teater
Sebuah pertunjukan teater pada dasarnya harus mampu memberikan “sesuatu” kepada para penontonnya. Para pemain di atas pentas adalah jembatan penghubung antara sutradara dengan penonton. Dialog, monolog, gestur, mimik, ataupun akting secara keseluruhan adalah kendaraan pembawa “sesuatu” tersebut. Dan dasar pijak dari semua lakuan tersebut salah satunya adalah naskah drama.
Sebuah naskah drama yang berisi teks-teks dialog, monolog, atau narasi adalah karya sastra. Karya sastra tersebut kemudian diolah sedemikian rupa oleh sutradara –simbol, makna, dan pesan- untuk kemudian divisualisasikan ke dalam pertunjukan teater. Seorang sutradara harus mempunyai pemahaman yang mumpuni terhadap naskah drama yang akan ia garap. Belum lagi tentang konsep garapan yang mesti ditentukan kemudian. Artinya, ada keterikatan konkrit antara naskah drama sebagai karya sastra dengan teater.
Membicarakan implementasi konsep garapan, khususnya yang berkaitan langsung dengan pemanggungan, maka hal itu tidak bisa dilepaskan dari hal-hal seperti dekorasi pentas, penatacahayaan, tata rias, dan tata kostum. Seorang sutradara juga memiliki tanggung jawab penuh sebagai bentuk pemaknaannya terhadap teks naskah. Ketika kita menyaksikan pertunjukan teater, maka akan terlihat gabungan yang elok dari keempat hal di atas sebagai satu bentuk terjemahan visual, layaknya goresan cat pada sebuah kanvas, sebagaimana kelaziman dalam konteks seni rupa.
Lain halnya dengan seni musik. Pada sebuah pertunjukan teater, kehadiran musik sangat mendukung suasana dalam beberapa pengadegan. Apalagi kalau kita menyaksikan pertunjukan Teater Koma –sebagai bentuk opera- misalnya, yang sebagian besar menghadirkan musik sebagai salah satu komponen utama. Atau juga beberapa bentuk teater tradisi seperti lenong dan randai, dimana musik adalah salah satu elemen terpenting yang sangat tidak memungkinkan untuk tidak hadir.
Begitu juga halnya dengan seni suara. Seni suara menyangkut dengan teknik pernafasan. Seorang aktor, aktris, atau para pemain secara umum harus mampu menguasai teknik-teknik dasar pernafasan. Kalau dalam ilmu dasar berteater, pernafasan diafragma menjadi salah satu teknik dasar yang harus diajarkan kepada para pemain selain teknik dasar pernafasan lainnya. Itu menjadi penting karena sangat berkaitan erat dengan dialog-dialog yang disampaikan oleh para pemain saat “bermunajat” di atas pentas. Dalam hal ini kita tentu bisa bersepakat bahwa unsur ini merupakan substansi yang harus dianggap penting dalam pertunjukan teater.
Dalam rangka menghadirkan suatu pertunjukan teater, tentu membutuhkan persiapan yang sangat matang. Salah satu komponen pendukung dari persiapan adalah manajerial. Manajerial yang dimaksud adalah tentang pengelolaan terhadap sebuah pertunjukan hingga benar-benar bisa dihadirkan sebagai tontonan yang tidak hanya menyampaikan pesan-pesan moral atau sosial akan tetapi juga tontonan yang memang merupakan hasil proses kolektivitas kreativitas manusia secara keseluruhan. Seorang sutradara tidak akan dianggap sebagai sutradara apabila ia tidak memiliki pemain dan kru pentas. Begitu juga ketika seorang pimpinan produksi tidak akan mampu menjalankan fungsinya jika tidak didukung oleh bagian produksi lain seperti bagian promosi dan dokumentasi. Dengan kata lain, di dalam sebuah pertunjukan teater banyak hal yang harus diperhatikan dengan seksama. Mulai dari perencanaan, pematangan konsep, waktu latihan, artistik panggung, hingga pada akhirnya menjelma menjadi pertunjukan yang utuh.
Realitas
Di Jambi, kira-kira akhir tahun 1990, telah berdiri kelompok-kelompok teater baik di dalam lingkungan kampus (teater kampus) maupun yang independen. Dulu, -sekadar menyebutkan- ada Teater Cindaku dan Teater Oranye dari Universitas Jambi. Kedua kelompok tersebut pada zamannya merupakan kelompok teater yang aktif menggelar berbagai pertunjukan -tidak saja pertunjukan teater tetapi juga pertunjukan seni lainnya. Tidak itu saja. Bahkan kedua kelompok tersebut juga aktif dan masif mengikuti kegiatan temu teater mahasiswa di luar Provinsi Jambi. Salah satunya kegiatan pertemuan teater mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat pada tahun 2000 dan 2002. Seiring perjalanan waktu hanya Teater Oranye-lah yang kemudian tersisa –meskipun kini tidak lagi diketahui keberadaannya, masih ada atau sudah tenggelam. Pertunjukan terakhir kali kelompok tersebut yang masih sempat saya saksikan tahun 2009 berjudul Gentile, dengan aktor sekaligus sutradara Ary MHS Cegu. Dan ketika itu kapasitasnya bukan lagi sebagai teater kampus namun sebagai teater independen.
Selain kedua kelompok tersebut, saat ini sudah ada beberapa kelompok teater mahasiswa di beberapa kampus seperti Teater Sialang Rayo dan Teater Kuju di Universitas Jambi dan Teater Aek Ngalir di Universitas Batanghari. Lalu, ada kelompok teater siswa seperti Teater Q di SMA At-Taufiq dan Teater Kerlip di SMA 1 Jambi. Namun, keberadaan kelompok-kelompok tersebut juga patut dipertanyakan eksistensinya. Ada yang sempat beberapa kali menggelar pertunjukan teater di kampus mereka dan di Taman Budaya Jambi lalu hilang entah kemana. Ada yang sibuk mengurusi festival band dan ternyata memang tidak pernah berminat membuat sebuah pertunjukan teater. Ada yang memang eksis berteater tetapi hanya pada momen-momen tertentu (baca: kelompok teater festival). Bahkan ada kelompok teater yang sekali muncul setelah itu raib entah kemana.
Meskipun demikian, hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan kelompok-kelompok teater, baik di kampus maupun di sekolah sebenarnya masih ada. Akan tetapi, kontinuitas dalam berproses yang dijalani dan entitas sebagai sebuah kelompok tentu patut dipertanyakan mengingat secara kuantitas pertunjukan-pertunjukan yang telah mereka lakukan hingga saat ini masih jauh dari kepatutan.
Sementara itu, untuk kelompok teater independen, di Jambi sekarang yang intens melakukan proses kreatif dan rutin melakukan pertunjukan hanya ada dua, yakni Teater AiR dan Teater Tonggak. Keberadaan kedua kelompok tersebut telah membuat saya menaruh harapan yang luar biasa besar. Bagaimana tidak. Di tengah minimnya pertumbuhan kelompok teater di Jambi, seharusnya mereka mampu untuk lebih bisa maksimal bertarung karena ketiadaan pesaing lainnya. Namun, ternyata dalam kurun waktu enam tahun –sebagaimana pengamatan saya sebagai penikmat teater- mereka seperti mengalami “dehidrasi” dan “kurang gizi”. Apalagi di tengah gencarnya “ekspansi” yang dilakukan beberapa kelompok teater dari luar Jambi seperti dari Jakarta, Bandung, dan Padang yang secara kualitas pertunjukan-pertunjukan mereka tidak kalah mentereng, pementasan demi pementasan yang dihadirkan kedua kelompok tersebut tidak lebih dari sekadar untuk menunaikan kewajiban agar senantiasa secara identitas tetap dianggap eksis.
Hal itulah yang kemudian memunculkan pertanyaan. Apa yang terjadi dengan kelompok-kelompok teater di Jambi? Sedemikian rumitkah untuk mempersiapkan sebuah produksi teater yang benar-benar murni sebagai hasil dari pergulatan ide, gagasan, dan proses kreatif yang selama ini diimani sebagai kerja teater?
Pentingnya Manajemen Teater
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ratna Riantiarno -manajer top markotop yang dimiliki Teater Koma, yang juga istri dari Nano Riantiarno-, bahwa manajemen adalah perencanaan sebuah produksi hingga sampai ke tangan konsumen (penonton). Sebuah grup kesenian harus punya manajemen karena dibutuhkan kordinasi dan keteraturan. Untuk menghadirkan sebuah pertunjukan, maka pasar harus “diciptakan”. Manajemen dengan segenap unsur-unsur yang saling bahu-membahu dan mendukung dengan tetap mengedepankan asas keterbukaan. Menghadirkan pertunjukan harus diilhami oleh semangat kolektivitas dan komitmen. Mulai dari sutradara hingga penonton. Karena itu, dalam satu manajemen pertunjukan ada dua komponen penting yang mesti bekerja sama, yaitu manajemen produksi dan manajemen artistik.
Manajemen produksi merupakan sistem pengelolaan sebuah pementasan teater yang diimpelementasikan oleh tim pendukungnya ke dalam sebuah bentuk kerja kolektif. Di dalamnya terdapat orang-orang yang bekerja saling bahu-membahu untuk mewujudkan sebuah pementasan yang tergabung pada bidang-bidang seperti keuangan dan penjualan. Sedangkan pada manajemen artistik berisikan orang-orang yang harus memahami pertunjukan secara kualitas, seperti penata artistik, penata musik, penata gerak, penata kostum, dan kru lainnya.
Secara garis besar, manajemen produksi bertanggung jawab penuh atas perencanaan pertunjukan, misalnya menyiapkan keuangan yang nantinya akan dipergunakan untuk membeli properti dan kebutuhan pangan para pemain dan kru. Selain itu, persoalan pemasaran (marketing) juga penting. Tim marketing ini harus bisa bergerak secara sporadis, mulai dari jadwal pertunjukan, agenda latihan, sumber keuangan, promosi, gedung pertunjukan, dan penonton.
Selanjutnya manajemen artistik. Berhasil atau tidaknya sebuah pertunjukan sepenuhnya bergantung kepada kinerja manajemen artistik. Di dalamnya terdapat orang-orang dari berbagai kompetensi, mulai dari penata musik, penata gerak, penata cahaya, penata kostum atau rias, dan kru panggung. Tim pada bagian ini berperan mempersiapkan konsep panggung, properti pertunjukan, busana dan riasan para pemain, aspek pencahayaan, tata suara, serta aspek-aspek lainnya.
Tentang kedua bentuk manajemen inilah yang kemudian menjadi problem akut dunia teater di Jambi –barangkali juga di Indonesia. Dari sekian banyak pertunjukan teater yang telah saya saksikan, belum terlihat kerja-kerja manajemen yang sesungguhnya, terutama sekali manajemen produksi. Alasan klasik yang senantiasa didengungkan adalah kesulitan keuangan yang berdampak pada setiap pertunjukan. Bahkan dari beberapa orang yang pernah menjadi pimpinan produksi di kedua kelompok tersebut saya memperoleh informasi bahwa jika saja pemerintah daerah tidak turun tangan “memberi bantuan pernafasan” atas produksi mereka, maka pertunjukan bisa tertunda bahkan urung dilaksanakan sementara semangat berproses tetap dipelihara. Sungguh ironis!
Belum lagi permasalahan yang berhubungan dengan penonton. Kelompok-kelompok teater di Jambi terkesan abai dengan hal ini. Penonton adalah salah satu unsur terpenting keberlangsungan sebuah pertunjukan. Tanpa penonton mustahil ada pertunjukan. Nah, seharusnya aspek ini yang mesti dimanfaatkan. Masing-masing kelompok tentu punya penonton tetap. Namun, yang harus diciptakan adalah bagaimana menjaring penonton di luar penonton tetap itu. Atau bila perlu memanfaatkan faktor kedekatan personal dengan institusi-institusi yang selama ini belum pernah tersentuh. Tentu saja hal-hal tersebut akan menjadi sia-sia apabila faktor promosi tidak dilakukan dengan maksimal.
Sepertinya para pegiat dan pelaku teater di Jambi belum memikirkan secara sungguh-sungguh akan hal ini. Padahal setelah sekian lama lahir mestinya mereka sudah memiliki sebuah konsep tentang manajerial teater yang mumpuni. Tetapi lagi-lagi memang ketika sebuah keinginan tersebut tidak diyakini sebagai sebuah kerja kolektif dan masif, maka segala bentuk kemungkinan yang seharusnya bisa dicapai menjadi absurd dan tanpa tujuan yang jelas.
Penutup
Di akhir tulisan ini, saya ingin memberikan penyadaran kepada kita semua bahwa untuk memproduksi sebuah pertunjukan teater yang serius dan menjual (marketable) memang butuh proses panjang, berliku, dan butuh ketabahan dan kesabaran. Membuat perencanaan yang baik dari sebuah manajemen yang profesional perlu kiranya dipikirkan. Proses berteater tidak saja dimaknai dalam bentuk kerja-kerja teknis tetapi juga non-teknis. Pembelajaran tentang pentingnya manajemen sudah saatnya menjadi prioritas apabila tetap bisa dianggap sebagai insan-insan teater yang bertanggung jawab untuk memanusiakan manusia dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kalau sudah begitu, proses kontemplasi segala ide atau gagasan itu bisa diwujudkan dalam bentuk pertunjukan-pertunjukan yang senantiasa bernas dan berkualitas, tidak kemudian akan bernasib seperti orok dalam kandungan yang kemudian terlahir prematur.
Tabik!
Sumber: Tentang Kita dan Mereka: Kumpulan Makalah Dialog Bahasa dan Sastra dengan Komunitas Masyarakat Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...