Rabu, 27 Juli 2016

Sebuah Jendela Kecil untuk Rumah Sastra Jambi

Oleh Iriani R. Tandy

Pernah membayangkan seperti apa sebuah rumah tanpa pintu, jendela, bahkan sebuah lobang angin? Mampukah sebuah kehidupan bertahan di dalamnya? Itulah potret buram sastra di Jambi dengan para penggiat sastra yang terus berjuang dan berjuang demi mempertahankan nafas kehidupan sastra. Padahal karya sastra yang cenderung berada di catatan pinggiran, sesungguhnya mampu tidak hanya sebagai media iseng untuk sekadar hiburan.
Akan tetapi, bisa sebagai pelipur lara dalam menyembuhkan luka-luka batin. Kekuatan makna kata yang sangat berharga yang sanggup memicu perasaan apakah itu prosa atau puisi dan karya sastra yang lain menjadi nutrisi jiwa, obat bagi kesembuhan hati.

Persoalan yang diperdebat kusir, dibahas sepanjang zaman, adakah tempat berpijak bagi si penggeliat kesusastraan itu. Lalu, apakah mereka sudah punya rumah sendiri? Meski menghuni sebuah gubuk kecil di tepi danau sunyi sepi. Ataukah masih terlunta-lunta di jalanan? Sebuah pertanyaan sepanjang musim berganti.

Kalau hendak bercermin dengan sejarah masa lalu dan hari ini tentang sastra di Jambi, kita seperti sedang memandang wajah di atas permukaan sebuah sungai yang keruh airnya. Apa yang bisa ditebak atau dilihat seisi sungai yang airnya keruh serta butek itu. Adakah kehidupan, adakah ikan-ikan besar dan ikan-ikan kecil, penghuni air lain di dalamnya. Ataukah hanya dipenuhi lumpur dan sampah saja.

Ada fenomena bahwa sastra Jambi seperti “mengangkat batang terendam”. Lalu, ketika habis diangkat, diolah, dan dijadikan sebuah kursi furniture yang indah, ataukah dibakar dijadikan kayu api. 

Kita memang mampu memberikan sastra di Jambi sebuah rumah. Akan tetapi sebuah rumah yang sumpek, mati kehabisan oksigen dan nafas karena tidak memiliki pintu dan jendela bahkan lobang angin sekecil apapun. Adakah padang rumput yang dibiarkan menghampar bagi rumah sastra di Jambi, di Sumatra dalam cakupan lebih luas di negeri tercinta ini? Mengapa sastrawannya kering kerontang, merasa bernafas di bebatuan dan kerikil? Meski sana sini riak-riak kecil terdengar parau karena hampir letih berteriak dan menjerit?

Koloni-koloni kecil sastra yang berjibaku mengandalkan semangat yang tidak kenal lelah dan pantang menyerah seperti Pak De Dimas Arika Mihardja, Ramayani, Asro al Murthawy, lalu Berlian Sentosa. Mereka yang berupaya dan berusaha mengantar seteguk tetesan embun bagi sastra untuk dapat hidup. Dan sebuah koloni, komunitas besar seperti Kantor Bahasa Provinsi Jambi yang hadir memberikan tetesan-tetesan embun yang lebih besar kapasitasnya. Semoga memang mampu menurunkan hujan bagi padang gurun sastra di Jambi, menabur benih-benih yang akan bertunas terus dan terus bertumbuh menjadi pohon-pohon besar yang siap diolah untuk membangun rumah-rumah sastra di Jambi yang memiliki pintu dengan seribu jendelanya.

Kita tidak perlu mencari kesalahan dan kebenarannya atau bersusah payah buat menemukan jejak-jejak sejarahnya dan siapakah tokoh-tokoh sastrawannya. Meskipun tidak dapat dipungkiri kita harus menghargainya.

AYO, BEKERJA! Cuplikan himbauan Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia. Sebuah modal yang patut ditanamkan dalam hati tiap insani ketimbang hanya duduk memeluk sejuta impiannya.

Sumber: Makalah Temu Sastrawan pada Pekan Sastra Balai/Kantor Bahasa Regional Sumatra 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...