Oleh: Natal P. Sitanggang
1. Pendahuluan
Ketika manusia mulai menyadari keberadaan dirinya di bumi ini, dia pun mulai mempertanyakan segalasesuatunya. Secara sederhana, kita dapat bertanya dengan pertanyaan apa, siapa, bagaimana, mengapa, kapan, dan dimana. Pertanyaan itu pada dasarnya diajukan untuk mencari dan menemukan sebuah jawaban, yaitu kebenaran (truth).
Ketika sudah mempertanyakan itu, muncullah masalah secara kognitif dalam alam pikir manusia. Dalam upayanya untuk mencari jawaban atas masalah itu, dia melakukan sejumlah spekulasi, eksperimentasi, yang dalam kenyataannya dapat benar atau salah. Dua kenyataan itu disebut sebagai pengetahuan. Secara khusus dalam ditemukannya suatu kebenaran, dirumuskan pula alur kerja yang masuk akal dan mapan. Itulah yang disebut sebagai logos atau ilmu.
Konsep kebenaran setidaknya dapat dilihat dari empat sudut pandang, yaitu kebenaran (secara) logika, kebenaran (secara) etika, kebenaran (secara) estetika, dan kebenaran secara agama (band. Sumarsono 2004: 3—11). Secara sifat, tiga kebenaran secara berturut-turut kenal dengan kebenaran yang logis, etis, dan estetis. Sebagai contoh, kenyataan bahwa 1+1 hasilnya adalah 2, adalah benar secara logika (matematika). Diibaratkan satu buah mangga diletakkan di atas meja, lalu diletakkan lagi satu mangga berikutnya, sudah pasti mangga di atas meja menjadi dua buah. Berbeda dari itu, 1+1 bisa saja tetap menjadi satu atau lebih dari dua. Kemudian hasilnya dapat diterima menjadi sebuah kebenaran jika ditilik secara estetika. Misalnya, satu orang laki-laki dewasa mengambil satu orang wanita dewasa untuk menjadi istrinya, tentu harapannya adalah menjadi satu (kesatuan) dalam satu biduk rumah tangga (keluarga). Selanjutnya dari pernikahan mereka, jumlah anggota dalam keluarga bisa menjadi tiga atau lebih. Mayoritas kita tentu dapat menerima kebenaran itu.
Contoh kenyataan lain ialah bahwa pelaku kejahatan harus dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku, keharusan itu tetap dapat diterima sebagai kebenaran. Tak seorang pun rasanya kita dapat mungkar dari keharusan itu. Inilah yang disebut sebagai kebenaran etika. Adapun kebenaran agama sebagian menggunakan kebenaran etika (hukum), sebagian menggunakan kebenaran estetika (berperilaku baik). Namun, sebagian lainnya, belum bisa dibuktikan menurut kebenaran yang pertama. Misalnya, perihal keberadaan surga dan neraka. Kebenarannya hanya bisa kita terima melalui perangkat iman-kepercayaan yang didoktrinkan oleh agama (band. Magee 2001: 8).
Jika diperbolehkan lagi, penulis malah ingin melihat sejumlah terminilogi lain terkait dengan kebenaran, yaitu kebenaran faktual, kebenaran kontekstual, dan kebenaran universal. Sebagai contoh dalam pernyataan, Beberapa bulan yang lalu sebagian besar wilayah Provinsi Jambi diselimuti oleh kabut asap. Tentu, pihak melihatnya baik secara langsung, maupun melalui media, dapat menerima pernyataan itu sebagai sebuah kebenaran karena faktanya memang demikian. Kebenaran yang berdasarkan fakta itu dapat dikategorikan sebagai kebenaran faktual.
Selain secara faktual, kebenaran juga dapat dilihat secara kontekstual. Misalnya,dalam pernyataan, Suami wanita itu ternyata adalah orang yang pernah dibencinya ketika remaja. Pernyataan ini bisa dianggap benar jika dua pihak yang dimaktubkan dalam pernyataan itu mengakuinya sebagai suatu kenyataan, dan menjadi tidak benar jika yang bersangkutan tidak mengakuinya. Oleh karena itu, kebenarannya bergantung pada konteksnya: diakui atau tidak diakui. Kebenaran seperti ini disebut sebagai kebenaran kontekstual. Sementara itu, kebenaran universal ialah kenyataan yang dapat diterima dan berlaku secara umum. Misalnya, pernyataan Semua manusia akan mati., belum terbantahkan oleh manusia mana pun dan dibelahan bumi mana pun.
2. Paradigma dan Kebenaran
Menetapkan suatu kebenaran atas sebuah objek (misalnya, penelitian keetnikan) tidak cukup hanya dengan mengandalkan satu tinjauan. Lebih jauh, harus melibatkan sejumlah unsur yang saling merajut dan saling mendukung. Kebenaran itu dapat diibaratkan sebagai kepinganpuzzleyang membentuk gambar (misalnya, gambar manusia) yang berhamburan (lihat Kirkham 2013: 4—5). Kepingan demi kepingan itu harus dicari, ditemukan, dan diletakkan sesuai dengan proporsinya. Ada kalanya kepingan itu sudah ditemukan, tetapi tidak dengan serta merta akan menemukan korelasinya dengan kepingan lainnya. Oleh karena itu, tidak jarang dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk menemukan dan melihat korelasinya dengan kepingan lainnya. Dengan demikian, jika kepingan itu belum cukup dan korelasinya belum akurat, kebenaran objek yang tergambar oleh puzzle itu masih dapat diragukan atau ambigu. Dalam konteks penelitian, kepingan itu berupa deskripsi, penghitugan, pertimbangan, dan metateori yang menjelaskan sebuah objek.
3. Kenaifan dalam Penelitian
Berdasarkan tujuannya, penelitian dapat dibedakan atas penelitian preskriptif dan penelitian deskriptif. Penelitian preskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menelusuri suatu fenomena yang bersifat aktual sehingga ditemukan semacam jawaban yang aktual pula atas masalah yang terkandung dalam fenomena itu. Biasanya jawaban itu dapat menjadi petunjuk untuk mencari suatu solusi atas masalah yang ada. Misalnya, (a) penelitian tentang pengaruh insentif terhadap kinerja pegawai, (b) hubungan latar belakan ekonomi orang tua terhadap pemahaman wacana narasi, dan sebagainya. Dengan ditemukannya pengaruh sebagaimana dalam (a), atau korelasi sebagaimana dalam (b), dalam waktu yang tidak terlalu lama, dapat dipikirkan sebuah solusi (kebijakan) menyangkut masalah yang ada.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan sesuatu objek dengan apa adanya. Penelitian ini tidak selalu dikaitkan dengan sebuah kebijakan secara segera. Akan tetapi, tidak sedikit kebijakan yang dapat diambil dari hasil penelitian seperti ini. Misalnya, pengajuan konsep “berbasis teks” dalam pembelajaran Kurikulum 2013 didasarkan pada hasil penelitian tentang teks secara deskriptif selama kurun waktu yang cukup lama. Secara umum penelitian ini banyak dimanfaatkan untuk kepentingan akademik di perguruan tinggi dan lembaga penelitian.
Belakangan ini konsep penelitian deskriptif ini kerap dipertanyakan sejumlah pihak. Tidak jarang pula ajuan penelitian yang bersifat deskriptif ini kurang lirik oleh pemangku kebijakan termasuk di tingkat nasional.Dalam pada itu, muncul sejumlahtuntutan kebermanfaatan sebuah penelitian, misalnya, dengan nota bene, untuk apa itu diteliti? Apa dampak langsungnya terhadap masyarakat? Tuntutan (atau kalau boleh disebutkan sebagai “celotehan”) semacam inilah yang disebut sebagai kenaifan. Keanaifan yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah dalam artian kebersahajaan, melainkan keluguan yang mengisyaratkan kurangnya kesepahaman atas esensi dari penelitian sebagaimana dianalogikan di atas. Tesis ini muncul karena terlalu seringnya penulis menemukan pertanyaan semacam itu.Tentu kenaifan ini menjadi sebuah tanda staknasi (mungkin pula sebagai kemunduran) sekaligus ancaman bagi perkembangan naluri kepenelitanan.
Andaikan celotehan itu dibenarkan sebagai sebuah “kebenaran” dari kategori apa pun, tentu tidak perlu seorang Plato mempertanyakan mengapa buah apel bisa jatuh dari pohonnya? Demikian juga tidak perlu seorang Aristoteles menanyakan apa yang dimaksud dengan keadilan? Jangan-jangan postulasi rumus energi oleh Einstein dulunya dianggap pula sebagai sesuatu yang sia-sia. Bukankah juga dahulu ketika mereka memikirkan itu tanpa menghiraukan kebermanfaatan di masa yang mendatang?
(1) T.A. Edison pada zaman dahulu tidak pernah berpikir bahwa listrik temuannya akan turut juga bermanfaat sebagai untuk memasak, menghidupkan komputer, atau telepon selular pada masa sekarang ini.
(2) Einstein pada zaman dahulu tidak tidak pernah berpikir bahwa rumusannya tentang energi (E= MC2) akan dapat dimanfaatkan dalam sistem penerbangan pada masa sekarang ini.
(3) Seorang sarjana kimia pada masa yang silam tidak pernah berpikir bahwa temuannya tentang satu zat pada pohon pinus akan dimanfaatkan sebagai perisai cat saat ini.
(4) G.A.Z. Hasseau pada tahun 1800-an tidak pernah berpikir bahwa kamus Melayu yang disusunnya akan menjadi cikal-bakal kamus bahasa Melayu saat ini.
(5) Penyusun kamus bahasa Sunda atau Jawa pada masa lalu, tidak pernah berpikir bahwa kamus itu akan bermanfaat untuk penerjemahan program telepon selular dan atau sekarang sudah menjadi bagian dari program kamus elektronik ciptaan negara maju.
4. Kawalan Etnolinguistik
Gejala evolusi telah memunculkan kepelbagaian diseluruh aspek kehidupan; termasuk kemunculan keetnikan dalam kehidupan manusia di dunia ini. Keetnikan itu ditandai oleh perbedaan dan atau persamaan ras, keberasalan wilayah, dan termasuk bahasa. Oleh karena itu, untuk tahap awal kita dapat mempertanyakan, "Siapakah etnis E?” Dari konstruksi ini kita dapat bertanya, misalnya, "Siapakah Malayu?", "Siapakah suku Kubu?", atau "Siapakah suku Bathin?”
Tentu, jawaban atas pertanyaan itu tidak sebatas (misalnya, Kubu) 'mereka adalah orang yang lari ke hutan (ngubu) ketika zaman penjajahan’;‘mereka adalah saudara bungsu dari anak terang’; ‘mereka adalah suku Melayu yang belum menjadi Islam’; dan sebagainya. Belum lagi jika kita mempertimbangkan deskripsi Loeb (1935 dalam Prasetijo 2013) yang menyebutkan Kubu adalah ras Veddoid yang mirip dengan ras Veda di Srilangka), dan kini bermukim di pedalamam rimba sumatra bagian selatan (Jambi dan Sumatra selatan). Pertimbangan ini jelas akan membawa kita polemik kebenaran tentang Kubu.
Pada hakikatnya, ada banyak tinjauan yang harus dikumpulkan untuk menjawabnya. Di antaranya, antropologi, sosiologi, ekonomi, sejarah, termasuk linguistik. Jawaban berdasarkan bidang-bidang ilmu pengetahuan ini tampak sebagai kepingan-kepingan puzzle menuju kebenaran jawaban atas pertanyaan di atas. Di dalam kepingan itu pun, masih terdapat subbidang yang pada dasarnya juga menjadi kepingan untuk melengkapi kebenaran satu kepingan besar dalam satu bidang.
Liguistik sebagai salah satu bidang ilmu bisa menyumbang kepinganatas pertanyaan tentang E. Linguistik juga masih terdiri atas sub-sub bidang yang saling terkait. Artinya, untuk menjawab E secara linguistik, juga harus mengumpulkan kepingan dari subbidang linguistik, baik secara mikrolinguistik, maupun makrolinguistik. Pembagian secara mikro- dan makro-dalam linguistik juga menurunkan kajian-kajian yang lebih khusus lagi. Sebagai contoh, perihal ruang (space) secara morfosintaksis, kesantunan secara pragmatik, metafora secara stilistik dan semantik, sastra secara teks dan konteks.
5. Kemultietnikan di Jambi
Ada sejumlah perbedaan tentang kemultientikan di Jambi, khusunya kepada hal yang bersifat indigenous (suku asli). Keetnikan oleh sejumlah pakar sering dikaitkan dengan keberadaan bahasanya yang khas. Tentu inilah kaitannya dengan pandangan Sapir-Whorf yang mengisyaratkan bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Keraf (1996: 209) dalam daftar bahasa yang dituliskannya menunjukkan bahwa di Provinsi Jambi penutur bahasaKubu, Batin, Serampas, Kerinci, Talangmamak, Lalang, Bayat, Ulu Lako, Tungkal, Dawas, Supat, Jambi, Ridan. Soetomo (1995) dalam desertasinya menyebutkan bahwa selain adanya suku Kubu atau orang Rimba dan Talangmamak, masih terdapat suku Bajau. Sementara itu, Ja’farRassuh (2015) menyebutkan adanya suku Pindah, Penghulu, Anak Dalam, Orang Laut, bangsa Duabelas. Perihal mana yang lebih tepat atas identifikasi ini, dan apakah mereka tergolong sebagai Melayu seperti yang disebutkan Rassuh (ibid) perlu penelusuran ulang.
6. Beberapa Keeksotisan Kebahasaan di Jambi
Kajian linguistik untuk meneropong keberagaman etnik di Jambi masih minim. Namun, beberapa temuan penelitian terhadap indigenous Jambi, membuat wilayah kebahasaan di Jambi itu menjadi eksotis. Secara terbatas, penulis telah dan sedang melakukan penelitian tentang konsep metafora, konsep ruang, konsep emosi, prosodi, dan kesantunan di wilayah etnik Kubu. Sebagai catatan, perihal kesantunan/kesopanan masih dalam proses pencarian terhadap etnis Bathin. Sementara itu, perihal prosodi terhenti untuk sementara waktu.
Dalam penelitian perihal metafora, dengan menggunakan metode simak, dan teknik sadap, serta teknik simak libat cakap (lihat Sudaryanto 1993; 133—136; Mahsun 2012: 92--102) ditemukan setidaknya sepuluh objek data (lihat Sitanggang 2013) yang dalam bahasa Melayu atau Indonesia (BMI) bersifat metaforis, sementara dalam bahasa Kubu, selain bersifat metaforis, juga bersifat harfiah (denotatif). Sebagai contoh, idiom buah tangan yang dalam BMI dikenal selama ini sebagai ‘oleh-oleh’, ternyata bagi masyarakat Kubu masih murni sebagai buah, berupa buah rotan dan buah tumbuhan lainnya, yang kerap dipegang (sembari memikul hasil buruannya) untuk diberikan kepada anggota keluarganya sebagai cemilan.
Contoh lain, adalah penggunaan kata (ke)simpulan dalam BMI (dalam ranah ilmiah), masih membudaya secara harfiah dalam budaya masyarakat Kubu. Dalam hal itu, setiap permasalahan yang tak kunjung terselesaikan secara pribadi, akan dilaporkan kepada tumengggunya dengan membawa tali yang tersimpul. Dengan simpul itu, tumenggung akan mengetahui akan adanya sebuah masalah dalam anggota masyarakatnya.
Ada lagi konsep bejawab upah, yaitu bekerja kepada orang lain untuk mendapatkan upah. Dari konsep ini terlihat bahwa jawab pada ungkapan bejawab upah, sebenarnya searti dengan kata kerja dalam BMI (kerja dalam BMI bekorespondensi dengan karya dalam bahasa Sanskerta, dan bermiripan dengan create dalam bahasa Inggris). Selain kata jawab, BMI juga mengenal istilah jawatan, jabatan, sejawat yang masih terkait dengan kata kerja. Selanjutnya, dapat kita cermati konsep tanggung jawab dalam BMI sesungguhnya bermakna ‘menanggung atau melakukan sebuah pekerjaan’. Dengan demikian, kosakata Kubu ini jauh lebih tua dibandingkan dengan kosa BMI dengan alasan keharfiahan dan keaslian maknya yang dikandungnya.
Terkait ruang (space) juga ditemukan hal yang menarik (lihat Sitanggang 2014). Hal ini bermula dari penerimaan histori perkembangan bahasa yang berawal dari identifikasi diri kemudian bergerak mengidentifikasi objek yang lebih jauh. Sebagai contoh kata tubuh dapat diduga lebih awal kemunculannya dibandingkan dengan kata tumbuh(an)karena tubuh secara jarak lebih dekat dengan/bahkan berada dalam diri manusia; kata atas lebih awal daripada kata atap karena manusia mengenal atap setelah pada fase tinggal menetap dan memiliki rumah/pondok.
Dalam penelitan tentang ruang pada masyarakat Kubu, ditemukan bahwa kata belakang dalam BMI saat ini berasal dari perkembangan kata bokong sebagai bagian dari tubuh manusia. Dalam hal itu, masyarakat Kubu masih mengenal kata pembelokongon. Kata bokong selanjutnya mendapat sisipan –el-(secara infiksasi) sebagai penanda jamak hingga menjadi belokong (sebagaimana juga kata tunjuk menjadi telunjuk, kata gembung menjadi gelembung dalam BMI). Dalam perkembanganya menjadi kosakata BMI, belokong menjadi belakang. Berbeda dari itu, terdapat kata pehadopon sebagai oposisi dari kata pembelokongon. Kini dalam BMI kata tersebut telah berevolusi menjadi depan. Secara sederhana, pehadapon berasal dari kata hadop lalu mendapat imbuhan pe-on. Namun, dalam penelusuran makna, kata hadop sudah menjadi kata yang terkait dengan ruang. Sebagai kata yang terkait dengan bagian tubuh manusia, sudah tidak dikenal lagi. Sehubungan dengan itu, pengaitan dan penelusurannya dengan bahasa daerah lain menjadi sangat penting. Dengan becermin pada kata belakang yang sangat terkait dengan tubuh manusia, kata hadop pun dapat diperlakukan seperti itu. Kata hadop tampaknya berkorespondensi dengan kata dasar adop dalam bahasa Batak Toba (BBT).
Kata adop dalam BBT selain sudah menjadi kata yang terkait dengan ruang, juga terkait dengan tubuh manusia, tetapi dalam bentuk ulang (secara reduplikasi), yaitu adop-adop. Mengapa muncul dalam bentuk jamak? Jawabnya, karena ado-adop dalam BBT bermakna ‘payudara’ yang biasanya harus dua.
Secara kuantitas kata penanda ruang dalam masyarakat Kubu masih sangat terbatas. Mereka pada dasarnya tidak memiliki istilah kiri dan kanan. Kata yang sekonsep dengan kiri atau kanan hanya diwakili oleh kata perusukon (di kelompok lain hanya diwakili oleh kata pehiringon). Selain itu, masyarakat Kubu juga belum mengenal (apalagi memiliki) istilah yang terkait dengan ruang dalam kategori arah mata angin (cardinal direction) seperti utara, selatan, timur, atau barat. Adapun yang sepadan dengan ini masih bersifat gramatikal, yaitu arah matoari tumbuh ‘timur’ dan arah matoari podom ‘barat’ (kelompok lain mengistilahkannya dengan matoari idup ‘timur’, matoari mati ‘barat’).
Kuantitas kata penanda ruang pada dasarnya sangat berhubungan dengan kualitas penguasaan penuturnya terhadap ruangnya baik secara kognitif maupun psikomotorik. Semakin banyak kata penanda tentang ruang, tentu budaya penguasaan ruang bagi penuturnya semakin detail. Demikianlah keterbatasan jumlah penanda ruang dalam masayarakt Kubu pada dasarnya berbanding lurus dengan budaya penguasaan mereka tentang ruang apalagi berhubungan dengan dunia luar hutan. Apabila dalam hutan masyarakat Kubu menjelajahi ruang dengan jalan yang tidak terstrukturdapat sinta (survive), tentu akan terkendala jika mereka berada di luar hutan (kota misalnya) dengan jalan yang sudah relatif terstruktur dan permanen. Oleh karena itu, menurut hemat penulis pengenalan konsep ruang yang lebih detail seraya menambah perbendaharaan kosakata ruang bagi masyarakat Kubu, perlu diperhatikan dan diprogramkan dalam kurikulum khusus pengajaran bagi anak-anak masyarakat Kubu.
Sebenarnya, kondisi ini juga masih relatif menggejala di masyarakat Jambi secara umum. Pada tahun 2010—2013 pernah terlibat dalam survei minat anak SMA setelah tamat sekolah di beberapa wilayah Provinsi Jambi. Mayoritas (> 75%) anak-anak tersebut kurang berminat untuk melanjutkan perkuliahan atau merantau ke luar Provinsi Jambi. Dalam hal itu, keadaan tersebut tidak terkecuali bagi anak-anak yang sudah bernaturalisasi menjadi warga Jambi. Satu hal yang menjadi alasan ialah bahwa mereka tidak mempunayi sanak famili di kota lain, dan tidak ingin jauh dari orangtua. Isyarat ini sebenarnya menandakan adanya ketakutan tertentu dan bersifat subjektif terkait dalam penguasaan ruang di daerah lain, di antaranya takut tersasar dan takut tidak bisa ke suatu tempat.
7. Penutup: Alternatif “Cetak Biru” tentang Linguistik Jambi
Dengan mencermati kemultientikan masyarakat di Provinsi Jambi (di luar pemayungannya sebagai Melayu) perencanaan penelitian berdasarkan konsep mikrolinguistik dan makrolinguistik perlu dipertimbangkan sebelum segala sesuatunya menjadi tiada. Terbayang dalam benak penulis bahwa dalam proses pendokumentasiannya kelak terdapat rak pustaka kebahasaan yang berisi informasi, baik secara mikrolinguistik maupun makrolinguistik minimal sejumlah etnik indigenous Jambi dan diberi nama sesuai dengan nama etnik indigenous itu.
Sumber: Tentang Kita dan Mereka: Kumpulan Makalah Dialog Bahasa dan Sastra dengan Komunitas Masyarakat Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...