Minggu, 17 Juli 2016

Sikap Masyarakat Pemilik Papan Nama terhadap Bahasa Indonesia

Oleh: Yon Adlis 

Pendahuluan
Sikap merupakan perilaku, perbuatan, dan tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan yang berbentuk keyakinan, kepercayaan, atau pendapat sebagai reaksi yang timbul terhadap sesuatu atau kejadian (KBBI, 19999:938). Sikap juga merupakan fenomena kejiwaan yang terwujud dalam bentuk tindakan atau perilaku.
Merujuk definisi sikap tersebut kalau dihubungkan dengan bahasa, akan timbul istilah sikap berbahasa yang dimaknai secara luas sebagai gejala yang tumbuh dari pikiran sebagai bentuk keyakinan, pandangan, pendapat, keadaan mental, emosi terhadap perilaku, atau tindak bahasa. Artinya, sikap bahasa adalah keyakinan, pandangan, pemikiran, posisi batin atau reaksi terhadap fenomena kebahasaan (Muliono, 1981).

Masyarakat Indonesia merupakan penutur yang multilingual. Di samping mereka memiliki bahasa ibu, ada bahasa lain yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ada bahasa Indonesia, bahasa daerah, atau bahasa asing seperti bahasa Inggris. Adanya keragaman bahasa dalam kehidupan masyarakat tentu akan memunculkan reaksi yang berbeda terhadap interaksi yang menggunakan bahasa tertentu. Dalam kehidupan manusia, bahasa merupakan identitas suatu kelompok. Masyarakat dikenal dari cara bertutur dan bahasa yang digunakan dalam interaksi sehari-hari. Orang Minang akan melambangkan dirinya dengan bahasa Minang. Orang Bugis, di sisi lain, menggunakan bahasa Bugis dalam kehidupan sehari-hari untuk berinteraksi dengan sesama etnis Bugis. Artinya, bahasa menunjukkan bangsa dan tidak ada satu kelompok manusia pun yang tidak memiliki bahasa sebagai identitas. Bahasa merupakan lambing identitas yang paling utama dalam kehidupan manusia.

Kenyataannya, saat ini masyarakat memiliki cara pandang, perilaku, dan tanggapan yang berbeda terhadap bahasa yang ada di tengah kehidupan sosial. Ada sejumlah orang yang sangat setia dengan bahasa daerahnya, tetapi mereka tidak begitu menerima kehadiran bahasa Indonesia. Di sisi lain, adalah sekelompok orang yang begitu menyenangi dan membanggakan bahasa Indonesia atau bahasa asing untuk digunakan dalam interaksi sosial. Suatu hal yang tidak dapat dinafikan bahwa ada juga penutur yang tidak memiliki perilaku, pandangan, dan reaksi yang baik terhadap bahasa ibunya bahkan ada orang yang merasa malu, gengsi, atau merasa rendah diri menggunakan bahasa ibunya dalam interaksi sosial. Perilaku manusia dalam berbahasa inilah yang dimaksud dengan sikap berbahasa. Setiap manusia, sebagai pengguna bahasa, memiliki perilaku, pandangan, reaksi yang berbeda terhadap setiap bahasa yang digunakan dalam interaksi sosial.

Masyarakat Indonesia memiliki tiga ranah kebahasaan yang selalu hadir dalam interaksi sosial, yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Ihwal sikap masyarakat terhadap ketiga bahasa inilah yang akan disampaikan dalam makalah ini. Data yang dijadikan dasar kajian dalam paparan ini adalah papan nama yang ditemukan di sekitar jalan-jalan utama di Kota Jambi.

Pembahasan
Di satu pihak, bahasa merupakan lambang dan alat ungkap budaya yang dimiliki oleh etnis tersebut. Pola hidup, cara pandang, cara berpikir, sikap, dan sifat yang dimiliki suatu kelompok dapat diteropong melalui bahasa yang digunakan. Pandangan tentang kehidupan dunia dan kehidupan di akhirat terlihat dari cara suatu etnis mengungkapkan diri dengan bahasa yang mereka miliki. Petanda dan simbol yang digunakan satu etnis menunjukkan bahwa dunia mereka diwarnai oleh sikap mereka membanggakan bahasa yang dituturkan. Kehidupan etnis yang dilatari oleh suatu ideologi juga diwarnai oleh pandangan dan lambang-lambang yang mereka pakai sebagai sikap membanggakan identitas.

Bahasa juga sebagai perekat antarsesama anggota masyarakat. Interaksi antarpenutur dan lawan tuturnya akan terasa lebih hangat dan bersemangat kalau interaksi yang dilakukan dalam bahasa yang sama antara penutur dan lawan tutur. Orang Minang akan lebih akrab kalau interaksi yang  mereka lakukan dalam bahasa Minang. Hal yang sama juga terjadi pada etnis lain, misalnya orang Batak akan merasa lebih nyaman, dekat, dan bersaudara kalau tuturan yang dilakukan dalam bahasa Batak, bahkan mereka akan terbawa rasa sedang berada di daerah mereka nun jauh di sana. Hal yang sama dapat diperhatikan dalam konteks sejumlah orang Indonesia bertemu di luar negeri. Mereka akan merasa dekat, akrab, nyaman, dan bersaudara kalau interaksi mereka memberdayakan bahasa Indonesia. Rasa memiliki bangsa Indonesia akan muncul kalau interaksi yang dilakukan dalam bahasa Indonesia walaupun mereka sedang bertutur di luar negeri.

Pandangan yang dikumukakan di atas berlaku juga terhadap bahasa Indonesia, di samping bahasa negara, bahasa Indonesia menjadi alat perekat anak bangsa ini dari Sabang sampai Merauke. Anak bangsa yang berasal dari latar bahasa ibu yang berbeda dapat menjadi larut dalam satu kesatuan baik dalam kegiatan, politik, budaya, ideologi, bahkan cara pandang berkat kehadiran bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sudah berhasil menyatukan anak bangsa di kepulauan nusantara ini dari zaman sebelum kemerdekaan sampai saat ini.

Bahasa Indonesia sudah hadir sebagai penghela ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia pendidikan. Bahasa Indonesia sudah berwujud sebagai bahasa negara dalam berbagai konteks kegiatan kenegaraan, seperti siding paripurna di gedung DPR, rapat paripurna di berbagai konteks kegiatan negara di DPR/MPR di gedung Senayan, Jakarta. Roda pemerintahan di negara ini dapat berputar dengan baik berkat kehadiran bahasa Indonesia.

Karakter nasionalisme dilihat dari sikap anak bangsa ini terhadap penggunaan bahasa Indonesia sebenarnya tidak begitu baik. Penurunan sikap cinta, menghargai, dan mengutamakan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa semakin terpotret dalam berbagai konteks baik berpidato, diskusi, seminar, obrolan bebas di kampus, di kedai kopi, penulisan papan nama, kain rentang, dan di media massa baik elektronik maupun cetak. Hal ini dikaitkan dengan maraknya imperialism budaya asing melalui media cetak, elektronik, dan internet. Lini kehidupan masyarakat tidak ada yang dapat bersembunyi dari serangan informasi lewat media elektronik. Puluhan juta anak bangsa ini terlibat dalam pencarian dan penggalian informasi dari berbagai lini media elektronik. Sisi negatif yang paling mendesak dijadikan bahan kajian adalah keadaan sikap nasionalisme anak bangsa ini dilihat dari sudut sikap berbahasa Indonesia.

Pada dasarnya, bahasa Indonesia memiliki daya ungkap yang hebat baik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam interaksi sosial budaya, tetapi pada awalnya, banyak juga kaum intelektual yang bersikap tidak baik terhadap bahasa Indonesia (Chaer, 1993). Masyarakat Indonesia banyak yang masih memberlakukan dirinya sebagai orang asing sehingga mereka tidak bangga terhadap bahasa Indonesia bahkan ada yang malu berbahasa Indonesia. Artinya, pada tahun enam puluhan masih berkembang gejala merendahkan martabat bahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa sikap orang Indonesia terhadap bahasa Indonesia masih rendah.

Hal yang sangat memalukan memang sering terjadi. Orang Indonesia dalam berbagai pertemuan baik lokal, regional, nasional, dan internasional sok-sok-an menggunakan bahasa Inggris. Anak bangsa ini seharusnya memiliki sikap bangga terhadap budayanya terutama bahasa lokal dan bahasa Indonesia. Mental orang Indonesia memang kalah dengan mental orang Jepang dilihat dari sikap berbahasa. Pada pertengahan abad kesembilan belas, ribuan anak muda Jepang dikirim menimba ilmu pengetahuan dan teknologi ke Eropa dan Amerika, tetapi setelah kembali ke negerinya, sikap mereka tidak berubah menjadi penutur bahasa Inggris. Sebaliknya, mereka membangun pusat penerjemahan yang kuat agar tetap menggunakan bahasa Jepang dalam mentransformasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini menunjukkan politik bahasa negeri matahari terbit ini sangat bagus.

Di negeri indah yang kita banggakan ini, yang terjadi adalah penurunan sikap mencintai, membanggakan, dan menghargai bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Tayangan televisi di seluruh negeri ini menyuguhkan bahasa asing dalam berbagai berita dan pertunjukan. Anak muda, orang tua, dan anak-anak menyantap dengan lahap berbagai tayangan yang berbau budaya asing sekaligus bahasanya. Hal ini tentu menurunkan sikap cinta, bangga, dan menghargai bahasa dan budaya Indonesia. Media cetak juga ikut berlomba menggunakan istilah dan kosakata yang bersumber dari bahasa asing. Semua ini tentu merupakan indikator bahwa sikap bangga terhadap budaya dan bahasa Indonesia serta bahasa lokal sudah semakin menurun.

Pada usia ke-71 tahun, bangsa Indonesia dipandang gagal dalam meletak sendi nasionalisme kebahasaan. Kenyataannya, bahasa daerah semakin banyak yang mendekati liang kubur. Bahasa Indonesia tidak menjadi tuan di negeri sendiri. Masyarakat lebih banyak yang bangga menggunakan bahasa asing. Artinya, jalur pendidikan melalui pembelajaran bahasa Indonesia tidak dapat mewujudkan manusia yang memiliki karakter cinta bahasa Indonesia. Fenomena yang terjadi saat ini di sepanjang jalan utama di berbagai kota besar sampai ke kota kecil di kecamatan ditemukan papan nama yang ditulis dalam bahasa asing. Supermarket, mal, hotel, bahkan persimpangan jalan sudah diberi nama dengan jungcure, town square, convention room, meeting room, snack, enjoy, miss call, print, laundry, dry cleaning, digital printing, family entertainment, regency, lunch, breakfast, dinner, car wash, convention centre, international airport, midnight show, talk show, hot water, room rate, clean up, bedcover, metress, double bed, single bed. Padahal, semua bahasa asing tersebut ada bahasa Indonesianya.

Bahasa asing diutamakan pihak tertentu dalam berbagai konteks pertemuan formal. Bahasa asing seolah menjadi primadona dalam papan nama, kain rentang, iklan, dan informasi pelayanan. Hotel banyak menggunakan istilah “lunch” pengganti “makan siang”, “breakfast” pengganti “kudapan pagi”, dan “hot water” pengganti “air panas”. Semua ini merupakan petanda rendahnya sikap pengguna bahasa Indonesia terhadap bahasa nasionalnya. Banyak pusat perbelanjaan yang diberi nama dengan bahasa asing seperti world trade centre atau WTC, Golden Harvest Hotel, dan bahkan salah satu negeri di ujung Provinsi Jambi masih menggunakan pola kaidah bahasa asing dalam member nama tempat pelayanan umum, yakni “Kincai Place”. Semua ini merupakan bukti rendahnya penghargaan dan rasa cinta anak bangsa ini terhadap bahasa Indonesia sebagai identitas bangsanya.

Bahasa daerah yang berjumlah lebih dari 760 bahasa di nusantara ini merupakan aset bangsa yang lama kelamaan akan punah. Aset bangsa ini merupakan identitas setiap etnis yang merupakan kebanggaan penuturnya. Bahasa lokal merupakan sumur yang besar dan dalam yang dapat memperkaya bahasa Indonesia. Kosakata yang digali dari khasanah bahasa lokal ini merupakan kebanggaan komunitas penuturnya kalau kosakata ini dijadikan lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Komunitas pemilik kosakata ini akan memiliki sikap bangga pada bahasanya yang dijadikan menjadi bahasa Indonesia. Kata “kita” misalnya, kata ini berasal dari kotakata bahasa Minangkabau. Orang Minang akan memiliki rasa kebanggaan terhadap bahasanya. Adanya sumbangan kosakata lokal terhadap bahasa Indonesia akan memicu munculnya sikap bangga seluruh masyarakat terhadap bahasa Indonesia.

Di sisi lain, pada masa orde baru ada kecenderungan melalaikan perkembangan bahasa daerah sehingga bahasa daerah banyak yang hampir punah. Anak muda banyak meninggalkan bahasa daerah meraka bahkan malu menggunakan bahasa. Hal ini merupakan kebijakan negara yang sangat merugikan bangsa ini. Kebijakan yang lebih menekankan pada uniformitas ini seolah-oleh bahasa daerah dan kebudayaan dianaktirikan sehingga bahasa dan budaya daerah merangkak perlahan menuju kematian. Nama gedung, kampung, dan perumahan sudah sedikit sekali yang menonjolkan pemberdayaan bahasa daerah bahkan nama gedung, pusat keramaian, hingga fasilitas umum lebih banyak menggunakan bahasa asing.

Dalam era reformasi, bahasa daerah mengalami nasib yang lebih buruk lagi. Bahasa daerah tidak mendapat perhatian pemerintah sehingga terseok-seok digilas bahasa Indonesia dan bahasa asing. Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi hampir tidak ada lagi yang mengajarkan bahasa daerah. Koran lokal, majalah, jurnal, siaran radio, dan televisi sedikit sekali memberikan porsi kehidupan bahasa daerah atau lokal. Hal ini membuat sikap masyarakat semakin meremehkan bahasa daerah. Anak muda sudah tidak lagi mengenal dongeng, cerita rakyat, dan puisi rakyat yang diungkapkan dengan bahasa daerah. Hal ini membuat budaya daerah dan bahasa daerah semakin menuju gerbang kepunahan.

Manusia yang beradab adalah manusia yang berbudaya. Budaya tidak akan menyentuh manusia kalau mereka tidak mengenali bahasa yang mengungkapkan budaya tersebut. Artinya, kepunahan kepunahan bahasa daerah atau lokal merupakan jalan yang lurus menuju kepunahan peradaban. Pertunjukan puisi adat yang dulu begitu dinikmati pemiliknya hampir tidak dikenali lagi oleh generasi pewaris kebudayaan tersebut seperti seloko dalam kehidupan masyarakat Melayu.

Politik bahasa nasional merupakan salah satu cara pengembangan identitas nasional, tetapi tidak menghilangkan identitas daerah yang terlihat pada sikap komunitas terhadap bahasa daerahnya. Artinya, pemartabatan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak boleh menggilas kehidupan bahasa daerah. Bahasa daerah harus tetap awet sejalan dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia boleh diperkaya kosakatanya dengan bahasa daerah. Kebijakan ini akan menghadirkan kesetaraan sikap bangga penutur bahasa daerah terhadap bahasa ibu mereka dengan tidak ada muncul sikap menolak kehadiran bahasa Indonesia. Artinya, masyarakat lokal akan bangga dengan bahasa Indonesia di samping kebanggaan mereka terhadap bahasa daerahnya.

Setakat ini, sikap bangga pada bahasa daerah semakin rendah dan sikap bangga pada bahasa Indonesia juga tidak lebih baik bahkan banyak penutur bahasa daerah dan bahasa Indonesia yang lebih bangga pada bahasa asing terutama bahasa Inggris. Banyak orang kampung saat ini yang sangat bangga dengan bahasa Inggris. Di pihak lain, ranah penggunaan bahasa daerah semakin sempit. Acara adat, pertemuan masyarakat desa, dan khotbah tidak lagi menggunakan bahasa lokal seperti dulu. Masyarakat menggunakan strategi campur kode dan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, tetapi masyarakat malu-malu mengomunikasikan pikirannya dengan bahasa daerah. Bahasa Inggris sudah dipandang lebih bergengsi daripada bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Berbagai kosakata bahasa asing disisipkandi setiap kalimat. Masyarakat lebih memiliki kebanggaan menggunakan bahasa asing daripada bahasa daerah.

Penggunaan bahasa Indonesia yang dicampuradukkan dengan bahasa Inggris tentu menunjukkan bahwa anak bangsa ini sudah memiliki sikap nasionalisme yang rendah. Pandangan masyarakat sudah semakin menunjukkan sikap yang tidak baik terhadap jiwa nasionalisme mereka kalau sudah berpandangan bahwa penggunaan bahasa Inggris sudah merupakan indikator manusia yang intelek dan berpendidikan tinggi. Para cendikia Indonesia semakin terjebak dengan penggunaan istilah asing dalam menuangkan pokok pikiran padahal bahasa Indonesia mampu menjadi alat ungkap ilmu pengetahuan dan teknologi. Perilaku menghamba pada bahasa asing ini hanya mental-mental yang tidak tahu merasa bahwa mereka adalah orang Indonesia.

Simpulan
Berdasarkan paparan pada bagian pendahuluan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa sikap masyarakat terhadap bahasa daerah dan bahasa Indonesia masih rendah. Masyarakat masih lebih merasa bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia dan terutama bahasa daerah. Hal ini dapat dilihat dari berbagai papan nama yang ada di jalan-jalan utama di setiap kota termasuk Kota Jambi.

Saran
Bahasa daerah dan bahasa Indonesia tidak boleh saling bunuh, tetapi saling memberi kehidupan. Bahasa daerah harus diberi ruang hidup oleh masyarakat melalui tangan pemerintah daerah seperti pengelolaan Koran-koran berbahasa daerah oleh pemerintah. Ada sejumlah siaran radio dan televisi lokal yang juga menggunakan bahasa daerah. Hentikan sikap membanggakan bahasa Inggris baik oleh pengusaha, penguasa, masyarakat, terlebih lagi dunia pendidikan. Para orang tua tidak perlu menekankan nilai bahasa Inggris  harus lebih tinggi terutama di tingkat sekolah dasar.

Sumber: Tentang Kita dan Mereka: Kumpulan Makalah Dialog Bahasa dan Sastra dengan Komunitas Masyarakat Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...