Oleh: Emi Tri Sudiati
Siswa tidak mengerjakan PR atau tugas merupakan masalah yang paling sering dijumpai di dalam proses pembelajaran. Hal ini tentu membuat guru yang memberi PR ataupun tugas menjadi kesal. Apalagi ketika ditanya apa alasannya tidak mengerjakan PR ataupun tugas, jawabannya adalah lupa.
Wajar sebenarnya guru merasa kesal pada siswanya.
Ketika guru merasa kesal seperti ini, biasanya dia akan melakukan ‘sesuatu’ yang tujuannya agar siswa tidak mengulangi perbuatannya lagi. ‘Sesuatu’ itu berupa teguran ataupun hukuman. Beberapa waktu yang lalu, dunia pendidikan kita heboh oleh berita tewasnya seorang siswi SMP setelah dihukum oleh gurunya. Siswi tersebut dihukum berlari keliling lapangan, karena tidak mengerjakan PR. Semua mata tertuju pada oknum guru. Sang guru dinilai bersalah melakukan hal ini. Sang guru dinilai sebagai seorang pembunuh. Sungguh mengerikan.
Dalam dunia pendidikan terkenal ada dua ganjaran yang dapat diterima siswa. Ganjaran yang pertama disebut penghargaan (reward). Penghargaan akan diberikan kepada siswa yang mampu mentaati peraturan atau istilahnya berperilaku baik dan berprestasi baik. Sebaliknya siswa yang dianggap melanggar peraturan atau berperilaku tidak baik akan diberikan hukuman (punishment). Pemberian penghargaan dan hukuman ini sebenarnya dapat meningkatkan motivasi belajar bagi siswa. Sebagaimana diungkapkan oleh Budiono (1998) bahwa salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik adalah dengan memberi mereka penghargaan dan hukuman yang mendidik yang dapat menantang adrenalin mereka sehingga peserta didik tersebut mampu mencetak prestasi-prestasi baru yang menggembirakan.
Penghargaan dan hukuman ini tidak boleh lepas dari tiga aspek pembelajaran, yaitu kognitif (perubahan pengetahuan), afektif (perubahan nilai dan sikap), serta psikomotorik (perubahan keterampilan). Oleh karenanya kita sebagai guru harus jeli dalam hal pemilihan, penetapan, dan penggunaan strategi serta jenis penghargaan dan hukuman yang sesuai, sehingga akan tercipta hubungan yang harmonis antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran di kelas.
Pemberian penghargaan dapat berupa perhatian. Alternatif bentuk hadiah yang terbaik bukanlah berupa materi, tetapi berupa perhatian baik verbal maupun fisik. Perhatian verbal bisa berupa komentar-komentar pujian, seperti, ’Subhanallah’, Alhamdulillah’, indah sekali gambarmu’, ‘kamu pintar’, dan lain sebagainya. Sementara hadiah perhatian fisik bisa berupa pelukan, jabat tangan, atau acungan jempol. Pemberian penghargaan yang tepat akan merangsang sisi positif siswa untuk lebih percaya diri menciptakan karya-karya baru dalam dirinya.
Sementara pemberian hukuman yang mendidik dapat berupa kompetisi yang sehat berkaitan dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Misalnya, jika siswa tidak mengerjakan tugas atau PR, maka para siswa tersebut akan ditandingkan satu sama lain seputar topik pembelajaran yang sedang dipelajari atau menjawab pertanyaan dari guru secara lisan. Hukuman yang lain misalnya dengan memberi mereka tugas untuk menulis puisi atau karangan penyesalan atas kelalaian mereka . Hal ini akan membuat mereka berlatih menggali potensi atau kemampuan merangkai kata dan menuliskannya. Meminta anak untuk memperhatikan lingkungan kelas, kemudian meminta mereka membersihkan sampah di sekitar kelas dapat mengajarkan kepada anak pentingnya menjaga kebersihan. Hukuman yang lain bisa saja meminta anak untuk membuat sebuah karya, misal gambar, bagan/ charta, yang bisa dijadikan media pembelajaran.
Namun sayangnya, kita sebagai guru kadang kurang berfikir panjang untuk menentukan hukuman yang baik dan mendidik bagi siswa kita. Kita lebih suka hal-hal yang praktis, seperti berdiri di depan kelas, keluar dari kelas, berlari, push up, atau pun hukuman fisik yang lain. Hal ini tentu akan membuat siswa menggerutu, marah, kesal, dan bahkan membenci gurunya. Terlebih jika mereka mengadu kepada orang tua. Orang tua bisa saja tidak terima ketika mengetahui anaknya diberi hukuman seperti itu. Apalagi sampai menimbulkan kematian, seperti contoh di atas. Akhirnya akan membuat hubungan yang tidak baik, kesalahpahaman, antara sekolah (guru) dan orang tua. Ujung-ujungnya orang tua tidak percaya dan tidak menghargai profesi guru.
Sebenarnya hal seperti ini dapat dihindari jika kedua belah pihak saling menyadari. Orang tua dapat menghindarkan diri dari kesalah pahaman itu. Bagaimanakah caranya?. Tentu dengan memperhatikan putra putri mereka ketika di rumah. Karena pondasi pendidikan yang paling mendasar adalah pendidikan di lingkungan keluarga.
Lingkungan keluarga adalah tempat di mana pertama kali seseorang memperoleh pendidikan. Sikap dan sifat seorang anak terbentuk dari pola asuh orang tua. Seorang anak akan cenderung meniru apa yang dilihat. Jika orang tua memberikan contoh perilaku yang baik, maka anak pun akan cenderung berperilaku baik. Menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik juga perlu dilakukan karena nantinya akan menjadi karakter yang melekat pada diri sang anak., serta perhatian yang cukup dari orang tua juga turut membentuk kepribadian anak.
Selain contoh perilaku, komunikasi yang baik antara orang tua dan anak juga perlu dilakukan. Komunikasi yang baik akan membuat anak terbiasa terbuka menyampaikan setiap maslahnya. Kita sebagai orang tua harus dapat menjadi pendengar yang baik, serta membantu mereka memecahkan masalah. Kemudian perhatian, kita dapat memberikan perhatian dengan cara mengontrol kegiatan anak ketika di rumah. Kita harus dapat memberi batasan waktu bermain, mendampingi anak belajar, serta memastikan mereka menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Jika peran orang tua ini dapat terlaksana dengan baik, maka acara hukum menghukum siswa di sekolah tidak perlu terjadi.
Pihak guru pun dapat terselamatkan dari pandangan buruk masyarakat. Jika guru mampu menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua, membicarakan masalah-masalah pada diri siswa, serta memilih hukuman yang benar-benar pantas, tepat dan mendidik bagi siswa. Tidak akan ada lagi pandangan negatif pada guru. Guru pun akan tetap menjadi sosok yang dihormati, yang perlu diGUGU dan diTIRU.
Sumber: Pelatihan KTI untuk Guru SLTP dan SLTA 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...