Oleh: Natal P. Sitanggang
Abstrak
Tulisan ini membahas konsep spasial dalam masyarakat Melayu Jambi. Uraiannya menggambarkan kediakronisan konsep spasial Melayu Jambi dari bentuk yang primitif hingga yang kini dianggap modern. Data diperoleh dengan mengamati langsung kosakata spasial di dua daerah yang dianggap dapat mewakili ciri kediakronisan, yaitu (1) Kota Jambi sebagai daerah yang memiliki keurbanan yang lebih tinggi dan (2) Bukit Dua Belas sebagai daerah (hutan) yang dihuni oleh masyarakat Kubu yang masih relatif primitif.
Data tersebut dianalisis secara komparatif dan interpretatif untuk melihat bandingan dan perubahan penggunaaan identitas spasial dalam Melayu Jambi.Dari pembandingan ini diperoleh beberapa pola perubahan konsep dan bentuk spasial dari bentuk yang gramatikal menuju bentuk yang leksikal. Oleh karena itu, penelitian ini dapat menjadi bagian dari catatan pembentukan konsep spasial Melayu Jambi secara linguistik.
Kata kunci: egosentris, geosentris, konsep, Kubu, Melayu Jambi, spasial.
1. Pendahuluan
Spasial adalah istilah yang secara teknis digunakan sebagai terminologi untuk menandai konsep-konsep yang terkait dengan ruang, bidang, atau tempat. Konsep ini menjadi aspek yang penting bagi manusia terutama dalam kaitan penandaan dan penguasaan ruang dan/atau tempat. Levinson & Wilkins (2006) menyebutkan bahwa “Spatial cognition is a fundamental design requirement for every mobile species with a fixed territory or home base”. Foley (1999: 215) mencatat bahwa kesadaran akan konsep spasial sudah merupakan bagian dari kemampuan manusia. Kesadaran ini, selain merupakan sifat bawaan (innate), juga bersifat universal.
Payne (2002: 248) menyebutkan bahwa keberadaan konsep ini pada tampaknya berkaitan dengan budaya. Pandangan itu menjadi sejalan dengan Whorf (dalam Foley ibid)—berdasarkan hipotesisnya tentang bahasa dalam kaitannya dengan kebudayaan— yang menyatakan bahwa konsep spasial dalam sejumlah kelompok masyarakat menjadi bersifat relatif. Bagi Whorf konsep spasial dalam sejumlah kelompok masyarakat erat kaitannya dengan sistem bahasa yang berlaku di masyarakat itu. Bahasa dipandang turut berperan dalam membentuk kognisi spasial setiap anggota kelompok masayarakat penuturnya.
Berbeda dari itu, sejumlah ahli bahasa dan psikologi dilaporkan menentang pendapat Whorf itu dengan klaim bahwa sistem spasial cenderung bersifat absolut. Namun, klaim itu disanggah lagi oleh pihak yang tampak berusaha menengahi polemik antara kerelatifan dan keabsolutan. Pihak ini menilai bahwa keabsolutan yang diklaim oleh penentang Whorf terjadi jika pengacuan spasial menggunakan budaya Eropa yang dibatasi pada perangkat arah mata angin (cardinal direction), dan mengabaikan terminologi lain. Akan tetapi, jika kita menggunakan acuan terminologi diri (egosentris), keabsolutan konsep spasial secara menyeluruh tidak selalu dapat dipertahankan.
Fenomena keabsolutan dan kerelatifan yang demikian tampak juga terjadi dalam kebudayaan Melayu Jambi (selanjutnya disingkat dengan MJ). Dengan melakukan pembandingan dengan budaya masyarakat Kubu (selanjutnya disingkat dengan MK) akan terlihat sejumlah perubahan, baik secara pengacuan maupun secara konsep dalam MJ.
Pembandingan ini dapat dilakukan atas dasar MJ dan MK merupakan kelompok masyarakat yang dikenal sebagai penduduk yang bukan perantau di wilayah Jambi. Secara geografis MJ dan MK berada dalam satu wilayah administrasi pemerintahan saat ini. Secara historis MK dianggap sebagai bagian dari ras Melayu (MJ). Namun, perlu dicatat bahwa fakta di lapangan menunjukkan bahwa anggapan tersebut tidak selalu diterima oleh kelompok tertentu dalam MK. Hal ini sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat (1993 diacu oleh Soetomo 1995: 2) yang menyatakan bahwa MK merupakan sisa (serpihan) dari suku-suku yang pernah eksis di Sumatra.
Loeb (1935 dalam tinjauan Prasetijo, 2013: 193) melihat MK sebagai bagian dari ras Veddoid yang ada di Ceylon, Srilangka. Loeb menambahkan bahwa MK termasuk sebagai a degenerate race yang kehilangan folklor dan bahasa aslinya. Adapun kebudayaan MK saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh MJ. Sehubungan dengan itu, dasar pijakan untuk mengaitkan MK dengan MJ dapat dipostulasikan dengan: (1) Jika MK merupakan bagian dari MJ, kebudayaan MK saat ini adalah potret dari kebudayaan MJ pada masa silam; dan (2) Jika MK merupakan a degenerate race yang terpengaruh oleh MJ, budaya MK saat ini ialah deposit kebudayaan MJ masa lalu.
Penjelasan beberapa data spasial dalam konteks ini perlu akan melibatkan budaya lain seperti budaya Batak Toba (selanjutnya disingkat dengan BBT) sebagai bahasa yang dipahami penulis. Pelibatan ini disebabkan oleh adanya kemiripan leksikal antara MK, MJ, dan BBT, termasuk bahasa Melayu dan atau Indonesia (selanjutnya disingkat BMI) secara umum. Untuk mendukung penjelasan konsep dalam tulisan ini, penulis juga menggunakan teori perubahan bentuk kata sebagaimana dalam kajian dialektologi atau linguistik historis komparatif (Keraf, 1996). Data dalam tulisan ini bersumber dari data MK yang diperoleh dengan wawancara langsung dengan MK. Sementara itu, data spasial dalam MJ diperoleh dengan pengamatan langsung di wilayah Kota Jambi sebagai tempat yang sudah majemuk.
Sumber: Antologi Hasil Penelitian KBPJ 2014
hhhh
BalasHapus