Oleh: Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum.
A. Menyuburkan Budaya Literasi Lewat Sastra
Masih perlu disangsikan budaya literasi anak-anak. Berapa karya sastra yang dibaca anak-anak di rumah dan perpustakaan. Dalam rangka apa mereka membaca. Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kemampuan ini terkait dengan (1) pembiasaan (habit) dan (2) daya tahan. Manakala budaya literasi sudah menjadi habitus, daya tahan akan muncul.
Harus disadari, jaman nabi Nuh tidak tahu jika akan ada air bah, nabi Musa juga tidak tahu kalau bisa membelah laut merah. Nabi Ibrahim tidak paham jika aka nada kambing yang disembelih. Siti Hajar tidak tahu juga kalau dari kaki Ismail keluar mata air. Begitu seterusnya, mereka itu sebenarnya berbudaya literasi tentang (1) yakin, (2) taat, dan (3) ikhlas yang biasanya sulit dimiliki manusia biasa. Kecerdasan spiritual adalah budaya literasi, yang bisa dibangun lewat sastra.
Dalam karya Kuntowijoyo pernah mengisahkan soal burung dan seorang pengkotbah Jumat. Tukang kotbah itu juga menerapkan budaya literasi, luar biasa. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun sekarang ini literasi memiliki arti luas, sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies). Ada bermacam-macam keberaksaraan atau literasi, misalnya literasi komputer (computer literacy), literasi sastra (literary literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy). Silahkan saja, sebab konsep literasi yang sesungguhnya adalah “melek”. Melek berarti bangkit, muncul, berpandangan, ada spirit baru, dan sebagainya.
Seorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut. Menurut hemat saya, literasi sastra tidak sekedar kemampuan membaca dan menulis sastra. Literasi sastra intinya kemampuan, kepedulian, dan keinginan berolah sastra. Sebagai sebuah keutuhan keterampilan sastra, kemampuan menonton, meniru, mendengar, membaca dan menulis sastra perlu diperhatikan. Tidak hanya sebagai bagian dari pengetahuan yang menjadi bagian dari aktivitas akademik, akan tetapi literasi sastra diharapkan dan seharusnya mampu menjadi modal bagi siswa dan mahasiswa untuk menggali dan mengembangkan potensi dalam berapresiasi sastra. Potensi itu yang kita sebut budaya literasi.
Kunci pokok literasi sastra adalah pada konteks (1) indah dan (2) bermakna, yang dijadikan salam Hiski. Indah akan melahirkan kesenangan. Genre, wacana, literasi, teks, dan konteks, saat ini menjadi bahan perbincangan dikalangan akademisi sastra, semestinya dapat meletakkan fondasi budaya literasi. Dalam perkembangannya literasi terus berevolusi, makna dan rujukannya semakin meluas dan kompleks. Sedangkan rujukan sastra relative konstan. Literasi memiliki tujuh dimensi yang berurusan dengan penggunaan bahasa.
1) Dimensi geografis meliputi daerah lokal, nasional, regional, dan internasional. Literasi ini bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial.
2) Dimensi bidang meliputi pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan lain sebagainya. Literasi ini mencirikan tingkat kualitas bangsa dibidang pendidikan, komunikasi, militer, dan lain sebagainya.
3) Dimensi ketrampilan meliputi membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Literasi ini bersifat individu dilihat dari tampaknya kegiatan membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Dalam teradisi orang barat, ada tiga ketrampilan 3R yang lazim diutamakan seperti reading, writing, dan arithmetic.
4) Dimensi fungsi, literasi untuk memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, dan mengembangkan potensi diri.
5) Dimensi media, (teks, cetak, visual, digital) sesuai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, begitu juga teknologi dalam media literasi.
6) Dimensi jumlah, kemampuan ini tumbuh karena proses pendidikanyang berkualitas tinggi. literasi seperti halnya kemampuan berkomunikasi bersifat relatif.
7) Dimensi bahasa, (etnis, lokal, internasional) literasi singular dan plural, hal ini yang nenjadikan monolingual, bilingual, dan multilingual. Ketika seseorang menulis dan berliterasi dengan bahasa derah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maka ia disebut seseorang yang multilingual.
Dari tujuh dimensi itu, sastra akan bermain. Sastra itu produk kreativitas budaya literasi. Oleh sebab itu, efeknya juga harus menyumbang budaya literasi. Sastra sudah sepantasnya menyumbangkan saham untuk membangun masyarakar berbudaya literasi dan syukur sampai posliteras. Secara Umum ada tiga kategori besar masyarakat Indonesia, yakni praliterasi, literasi dan posliterasi.
a) Masyarakat praliterasi yang hidup dalam tradisi lisan dan sulit mengakses media seperti buku, TV, internet dan lain-lain. Kalaupun mereka dapat mengakses tetapi tidak bisa mencernanya dengan mudah.
b) Masyarakat literasi yang memiliki akses terhadap buku, tidak berarti tradisi baca-tulis dapat tumbuh dengan suburu di kalangan ini.
c) Masyarakat posliterasi yang memiliki akses buku dan teknologi informasi dan audio visual.
Perbandingannya dengan saat ini barangkali tidak berbeda jauh jika melihat indikator yang ada. Suatu tingkat literasi yang sangat ironis bila kita bercermin pada negara-negara tetangga di ASEAN yang sudah terlebih dulu bangkit dari keterpurukan peradaban.Sebuah survey dari program for international students assessment (PISA) dalam pertama kali keikutsertaannya pada tahun 1997 tentang budaya literasi, Indonesia menempati peringkat 40 dari 41 negara yang berpartisipasi. Selanjutnya pada tahun 2000 dalam survey yang sama Indonesia menempati peringkat 64 dari 65 negara partisipan.
Survey tersebut sudah cukup menjelaskan kurangnya budaya literasi di Indonesia, bahkan kita kalah tingkat literasinya dengan Negara-negara ASEAN yang lain sekalipun Vietnam, Negara yang jauh lebih muda dibandingkan Indonesia. Karena itu penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulung punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Tidak mungkin menjadi bangsa yang besar, apabila hanya mengandalkan budaya oral yang mewarnai pembelajaran di lembaga sekolah maupun perguruan tinggi. Namun disinyalir bahwa tingkat literasi khususnya dikalangan sekolah semakin tidak diminati, hal ini jangan sampai menunjukkan ketidakmampuan dalam mengelola sistem pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itulah sudah saatnya, budaya literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini agar anak bisa mengenal bahan bacaan dan menguasai dunia tulis-menulis.
Ada sepuluh gagasan kunci tentang literasi yang menunujukkan perubahan pardigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini yaitu, ketertiban lembaga-lembaga sosial, tingkat kefasihan relatif, pengembangan potensi diri dan pengetahuan, standar dunia, warga masyarakat demokratis, keragaman lokal, hubungan global, kewarganegaraan yang efektif, bahasa inggris ragam dunia (multiple Englishes), kemampuan berfikir kritis, dan masyarakat semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang tanda, kode, struktur, dan komunikasi. Jadi dengan ke-sepuluh kata kunci ini hal ihwal literasi, seseorang dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas membaca dan menulisnya dan mampu menemukan suatu makna dalam teks yang disaring melalui sebuah konteks.
Dalam pendidikan bahasa yang baik seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut:
1) literasi adalah kecakapan hidup yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
2) literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun lisan.
3) literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
4) literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
5) literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
6) literasi adalah hasil kolaborasi. Berbaca-tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua pihak yang berkomunikasi, sudah dijelaskan pula bahwa berbaca-tulis bak kakak-adik kandung yang tak terpisahkan.
7) literasi adalah kegiatan untuk melakukan interpretasi atau penafsiran.
Dari tujuh maksud lterasi itu, sastra perlu ambil bagian. Sastra dapat menjadi modal tangguh untuk dibaca dan ditulis, sebab ada unsur keriangan. Sastra tidak sekedar luapan imajinansi orang gila, melainkan ada muatan budaya yang membangun mental. Bangsa ini patut direvolusi mentalnya, agar jernih. Amputasi mental pun sudah saatnya.
Literacy (literasi) itu budaya membuka mata. Bayangkan ada tiga orang jalan, yang pertama buta, kedua buta, dan ketiga normal, bagaimana jika menginjak sebuah barang empuk. Mata begitu penting, tapi intuisi dan tradisi juga penting untuk menghayati situasi. Mata adalah jalan menuju istana impian. Literasi sastra akan merambah istana yang penuh dengan harapan itu. Sebenarnya, tidak hanya mata, telinga dan hati juga terkait. Sudah saatnya kita membuka mata, artinya berliterasi. Saya memaknai literasi ada tiga hal penting yaitu: (1) kita mulai sadar diri bahwa kita ada, harus mengambil peran, harus bermain bukan dimainkan semata, (2) kita harus mulai membaca lingkungan (ekosistem) hidup, bahwa kita tidak hidup sendiri, (3) ada beragam (pluralistik) hidup yang harus dibaca lewat bahasa dan sastra (Endraswara, 2016, hlm.1). Mari kita mencoba membuka mata, sampai tidak ada yang menyuruh.
Tinggal sekarang mau apa dengan sastra. Mampukah kita membuka mata, jangan mata keranjang. Bahaya jadi keranjang sampah. Ingat di sampah itu dulu bunga-bunga harum. Bunga yang harum biasa banyak durinya. Duri itu jika menusuk amat pelik, mengancam keselamatan. Bunga itu bagian dari lingkungan kita,maka peliharalah bunga agar bisa membuka mata lebar-lebar.
B. Literasi: Proses Meaning-making dan Revolusi Mental
Meaning making adalah budaya literasi tingkat tinggi. Hidup selalu bergerak pada konteks tersebut, jika ingin sukses. Kedua pilar budaya literasi ini akan membangkitkan budaya revolusi mental. Revolusi mental juga efek budaya literasi. Lewat sastra proses meaning making dan revolusi mental akan terjaga. Keefe dan Copeland (2011, hlm.92-93) dari University of New Mexico imenjelaskan konsep literasi dalam arti luas. Menurut dia, literasi berarti keaksaraan. Orang Jawa menyebut literasi sebagai melek huruf. Memang harus diakui bahwa sampai saat ini amat kurang peluang berhubungan dengan definisi literasi. Istilah literasi sastra pun boleh dipakai. Artinya, orang perlu melek huruf pada sastra.
Untuk sebagian besar dari sejarah dalam bahasa Inggris, kata 'Melek' dimaksudkan untuk menjadi 'akrab dengan sastra'. Sastra adalah fenomena yang layak didengar, dicamkan, ditonton, dibaca, dan diproduksi (tulis). Hanya sejak akhir abad kesembilan belas literasi tampaknya cenderung merujuk pada kemampuan untuk (1) membaca dan (2) menulis teks, baik sastra maupun non sastra. Literasi juga bermakna memiliki pengetahuan tertentu. Membaca dan menulis semestinya sudah sampai tingkatan meaning making dan revolusi mental. Jika membaca menulis baru eforia kata, berarti masih wadah yang digagas, belum sampai isi apalagi makna serta action. Dengan demikian, makna asli dari kata bahasa Inggris 'melek' (literasi) berbeda dari yang diterjemahkan dalam beberapa bahasa lain. Melek saya maknai bangkit dari kebodohan. Literasi adalah proses sadar diri. Sadar dan peduli sastra, karena memperkaya pengalaman hidup itu juga literasi.
Literasi sastra berarti niat untuk mendengar, membaca, dan menulis sastra. Kepedulian pada bacaan sastra, adalah literasi sastra. Artikel yang ditulis ini akan mengeksplorasi tentng definisi literasi, peluang keaksaraan, dan dampak keaksaraan pada individu dan kelompok. Saya mengusulkan untuk mendefinisikan literasi dan implikasinya untuk kehidupan yang luas, terutama dalam bidang pembelajaran. Teori postmodernis tentang keaksaraan (literasi) biasanya memandang sebagai instrumen kekuasaan dan penindasan legitimasi wacana dominan dan membahayakan bahasa, sastra, budaya dan pengetahuan. Pandangan ini, mengingatkan bahwa literasi adalah proses 'meaning making.' Artinya, literasi itu selalu berupaya terkandung konteks: (a) mencipta situasi semakin, (b) cerdas berbuat aksi, (c) peduli pada yang dihadapi, (d) gemar berkreasi lebih.
Pekerjaan definisi adalah didasarkan pada asumsi bahwa semua individu dengan kebutuhan luas memiliki dukungan sepenuhnya dan menguntungkan pembelajaran keaksaraan (literasi). Hal yang mengejutkan seberapa pemerhati literasi membahas penelitian, menyusun kerangka kerja konseptual, dan menerapkan pendekatan untuk mengajar keaksaraan. Pembelajaran literasi sastra ditandai dengan aktivitas (1) mendengar, (2) meniru, (3) membaca dan, (4) menulis) karya sastra. Keempat hal ini, manakala dilakukan secara bagus akan mampu merevolusi mental bangsa. Mental bangsa ini, setahu saya sudah menuju pada non-beradab, ditandai dengan terikisnya: (a) budaya malu, (b) budaya rukun, sehingga saling berantem. Orang yang melek sastra, biarpun hanya pada sastra lisan, dengnan sendirinya termasuk melek budaya literasi. Seharusnya sastra mampu mengobati mental yang terluka. Melek, artinya paham dan melakukan (aksi) positif.
Dalam kajian yang sangat baik tentang peluang keaksaraan bagi siswa dengan cacatan intelektual oleh Kliewer, Biklen, dan Kasa Hendrickson (2006) disimpulkan bahwa banyak dari sejarah keaksaraan bagi orang-orang dengan kebutuhan yang luas hasilnya ditandai dengan narasi optimisme. The United Nations Educational, Scientific dan UNESCO menetapkan experimental Program Literasi Dunia pada tahun 1966. Luckasson (2006) menjelaskan bahwa hak manusia untuk untuk memperoleh pendidikan pun termasuk literasi.
Selanjutnya, kita membahas beberapa contoh definisi dan konsekuensinya. Hal ini penting untuk mempertimbangkan definisi literasi digunakan oleh PBB dan lembaga internasional lainnya organisasi karena keaksaraan adalah masalah global, bukan lokal atau nasional. Selain itu, panggilan untuk melek aksara untuk semua orang berasal dari kelompok-kelompok ini. Tujuan dari organisasi UNESCO adalah untuk memberantas buta huruf dan memastikan semua orang bisa membaca dan menulis. Sastra akan menjadi jawaban, biarpun sastra lisan. Sastra lisan pun membangun literasi, sebab harus diawali dengan menyimak.
Batasan literasi menurut UNESCO memungkinkan individu untuk menjawab pertanyaan apakah mereka dapat membaca dan menulis, meninggalkan kemungkinan bahwa bentuk-bentuk lain dari membaca dan menulis, seperti komunikasi augmentatif, mungkin diterima daripada menerapkan standar yang seragam. Ini bisa disimpulkan dari definisi di atas bahwa PBB percaya bahwa individu yang tidak memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis secara konvensional harus dikecualikan dari hak untuk instruksi keaksaraan. Dimasukkannya artikel ini mengakui bahwa tidak semua orang berkomunikasi dengan cara yang sama dan bahwa beberapa bentuk komunikasi harus dihargai. Kami mengusulkan bahwa hanya dengan memperluas definisi keaksaraan bahwa potensi manusia akan semakin berkembang. Knoblauch Keefe dan Copeland (2011, hlm.95) membahas aspek sosial budaya sehingga definisi literasi dia diyakini melampaui gambaran keterampilan dan didasarkan asumsi, pengaruh ideologi, dan politik. Knoblauch membahas empat jenis definisi keaksaraan, yaitu:
Pertama, definisi yang berasal dari perspektif fungsionalis menekankan keterampilan mengajar yang menghendaki individu perlu untuk hidup sehari-hari serta kompleks hadirnya berbagai tuntutan perubahan teknologi dan ekonomi lingkungan hidup. Perspektif ini diwujudkan dalam gerakan yang terulang kembali dengan keteraturan dan ciri iklim saat ini diciptakan.
Kedua, perspektif yang menjelaskan, melek budaya, melampaui melihat keaksaraan sebagai keterampilan dasar dan termasuk kesadaran terhadap warisan budaya, kapasitas pemikiran tingkat tinggi, bahkan beberapa penegasan estetika. Dia mencatat bahwa bahaya yang melekat dalam perspektif ini adalah kesukaan akan budaya dominan dan bahasa marginalisasi.
Ketiga definisi sebagai keaksaraan untuk pertumbuhan pribadi. Penganut perspektif ini berpendapat bahwa bahasa sering mengungkapkan kekuatan imajinasi individu. Sebagai contoh karya imajinasi adalah novel yang menyenangkan. Menulis itu termasuk orang warna dan wanita, dan cara-cara lain untuk melibatkan orang dianggap sebagai kurang beruntung. Ketiga perspektif telah mendominasi tunggal atau dalam beberapa kombinasi cara di mana pendidik dan pembuat kebijakan telah mendekati melek huruf di sekolah-sekolah sampai hari ini.
Keempat, perspektif yang disebut keaksaraan kritis. Knoblauch menjelaskan pengaruh keaksaraan kritis dengan cara ini agendanya adalah untuk mengidentifikasi membaca dan menulis dengan kesadaran kritis terhadap kondisi sosial di mana orang menemukan diri mereka, mengakui sejauh mana praktek bahasa merealisasikan dan merasionalisasi kondisi ini dan sejauh mana orang dengan kewenangan untuk nama dunia mendominasi orang lain yang suaranya mereka telah mampu menekan.
Oleh karena itu, literasi merupakan sarana berkuasa, cara untuk mencari dampak politik. Knoblauch mengamati bahwa keaksaraan kritis telah menemukan ekspresi di kalangan sebagian besar akademis. Selain itu, ia mencatat bahwa karena perspektif ini melek huruf sangat dipengaruhi oleh tempat filosofis Marxis itu dipandang sebagai radikal dan belum dipeluk oleh pendidikan atau pendirian politik. (1990) analisis Knoblauch menyediakan gambaran yang baik kategori utama dari definisi keaksaraan yang memiliki ada dalam pendidikan secara historis dan masih relevan hari ini.
Literasi bukan sifat yang berada hanya dalam individu. Hal ini membutuhkan dan menciptakan koneksi dengan orang lain. Literasi termasuk wahana komunikasi, kontak, dan harapan bahwa interaksi adalah untuk semua individu. Keaksaraan memiliki potensi yang menyebabkan pemberdayaan. Literasi adalah tanggung jawab bersama setiap individu dalam masyarakat; yaitu, untuk mengembangkan berarti membuat dengan semua mode manusia komunikasi untuk mengirim dan menerima informasi.
Melalui mengusulkan set prinsip-prinsip inti, kita memiliki berusaha untuk membuat asumsi dan tujuan kita eksplisit. Kami berusaha untuk menulis prinsip-prinsip inti jelas dan menghindari jargon pendidikan. Kami berharap bahwa ini akan menyebabkan diskusi berbuah tentang topik ini dan konsensus bahwa individu dengan kebutuhan dukungan yang luas harus disambut sebagai penuh dan aktif peserta ke dalam masyarakat melek huruf.
Relevansi dan kegunaan keterampilan berbasis, individual definisi literasi bagi siswa dengan kebutuhan luas untuk mendukung telah menantang selama dua dekade terakhir. Beberapa definisi literasi memperluas konseptualisasi dari apa yang terdiri reading dan writing. Definisi literasi yang meliputi kegiatan melibatkan mengakses, menggunakan, dan berkomunikasi tentang apa pun di cetak atau media format gambar dan yang tidak terbatas pada materi diakses melalui penglihatan atau pendengaran.
Demikian pula, dalam mengusulkan kerangka kerja untuk muncul keaksaraan bagi siswa yang tuna netra. Erickson dan Hatton (2007) menyebut keaksaraan sebagai terjadi sehubungan untuk print atau yang setara. Hal ini menciptakan kemungkinan melek huruf bagi siswa tunanetra yang juga akan berlaku untuk beberapa siswa dengan luas kebutuhan untuk dukungan yang memiliki tantangan mengakses tradisional bentuk cetak.
C. Pembelajaran Sastra dan Budaya Rindu
Cronin (2014, hlm.46) menyatakan bahwa literasi yang diawali dari membaca, baik nonfiksi dan fiksi (sastra) adalah proses berbudaya dalam upaya menemukan informasi teks. Teks adalah sumber informasi kompleks. Membaca teks sastra dan non sastra seperti seorang detektif. Orang yang belajar sastra otomatis menjadi pelacak (tracer). Dia juga seorang penulis ulung seperti wartawan yang penuh investigasi. Dalam pembelajaran sastra, jika siswa semakin melek huruf di abad ke-21, maka semua guru harus bergulat dengan ide-ide yang melekat dalam kata-kata dan frase yang mengikuti jaman.
Pembelajaran sastra, lebih menekankan pada keaksaraan. Hal ini tidak berarti hanya mengedepan teks sastra tulis,melainkan juga sastra lisan. Budaya literasi adalah tanggung jawab bersama. Oleh sebab itu, sekarang guru dan dosen perlu menguasai life skill bidang sastra. Life skill adalah dampak dari budaya literasi tingkat lanjut. Menurut Cronin (2014:47) literasi adalah kemampuan untuk memecahkan kode teks dan menghasilkan teks untuk membuat makna. Kode teks sastra biasanya bersifat simbolik. Keaksaraan adalah penguasaan ilmu dan keterampilan memahami simbol sastra. Ini adalah mekanisme membaca dan menulis sastra. Proses literasi semacam ini adalah langkah mengaktifkan syaraf-syaraf dan reflek sastra pada batin manusia. Literasi adalah dasar untuk semua kata berbasis komunikasi. Berarti melalui sastra, orang akan semakin berbudaya dalam komunikasi. Komunikasi estetis jauh lebih menarik.
Pembelajaran berbasis sastra adalah jenis belajar di mana narasi asli penulis dan karya ekspositori digunakan sebagai inti untuk menggali pengalaman hidup. Siswa atau mahasiswa dapat diajak untuk memahami karya sastra. Untuk lebih mengenal lingkungannya, pembelajar dapat diajak mengenal karya-karya sastra ekologis. Sastra ekologis adalah karya yang memantulkan pesan-pesan lingkungan. Kegiatan pembelajaran sastra demikian dapat mendukung anak-anak dalam mengembangkan budaya literasi.
Jenis kegiatan dilakukan dengan mendengarkan, menonton, membaca, dan menulis karya sastra yang bercorak lingkungan. Lingkungan alam biasanya yang paling disukai anak-anak kita. Oleh karena sejak lahir anak-anak sudah dekat dengan alam. Ketika TK dan SD, jika ada pelajaran seni lukis, dikenalkan dengan gambar dua gunung. Pelajaran ini amat membekas di benak anak-anak. Maka anak-anak, remaja, dan orang dewasa dapat diajak membaca dan menanggapi setiap buku sastra yang bagus. Sebagai contoh, adalah wajar untuk berbagi dan berbicara tentang buku yang bagus setelah membacanya. Yang paling penting si pembelajar memperoleh pengalaman belajar otentik.
Harus diakui bahwa ada pandangan pertama, tentang konsep 'melek' tampaknya akan menjadi istilah yang semua orang. Tetapi pada saat yang sama, keaksaraan sebagai sebuah konsep telah terbukti untuk menjadi kompleks dan dinamis. Literasi, terus ditafsirkan dan didefinisikan dalam keragaman cara. Pengertian orang tentang apa artinya menjadi melek huruf, atau buta huruf dipengaruhi oleh penelitian akademik. Lewat menonton sastra, membaca, dan menulis sastra sekaligus akan menanamkan nilai-nilai budaya literasi. Dalam komunitas akademik, teori literasi selalu berevolusi. Inti budaya literasi adalah terfokus pada perubahan individu untuk baik, dalam hidup yang lebih kompleks. Jika siswa sudah memahami konteks sosial budaya yang 'melek lingkungan' sudah dianggap sukses.
Sastra, di sisi lain, adalah seni membaca dan menulis. Hal ini menunjukkan bahwa otak kanan manusia berkembang ke arah komunikasi dengan teks eksplisit dan implisit. Ini tumbuh subur pada ambiguitas dan nuansa sastra yang penuh tawaran makna. Hal ini membutuhkan pembaca dan penulis yang memiliki wawasan yang mendalam ke dalam kondisi manusia dan dapat memahami ide-ide dengan keterampilan dan imajinasi. Sastra yang baik adalah produksi dan interpretasi yang membutuhkan penulis dan pembaca untuk memiliki keaksaraan Ray Bradbury (Cronin, 2017, hlm.48) menulis, bahwa keaksaraan adalah dasar untuk sastra. Tuntutan sastra adalah keterampilan keaksaraan. Keaksaraan adalah seperangkat keterampilan yang kompleks perlu dikuasai siswa untuk memahami teks sastra canggih. Jika semua siswa tidak memiliki keterampilan prasyarat untuk membaca teks atau menanggapi, maka perbedaan antara literasi dan sastra sering diperdebatkan.
Pandangan Cronin (2014, hlm.50-51) sungguh penting bagi pengajar literasi sastra. Dengan sastra budaya literasi akan terpupuk. Budaya literasi akan menumbuh minat belajar sastra. Saya mencoba untuk mengingat apa yang saya selalu tahu, bahwa mengajar sastra itu harus bermodal dua strategi: (1) ceria, gembira dan (2) atraktif, penuh trik estetis. Strategi ini akan memupuk kepedulian siswa, bahkan jika mungkin siswa menjadi ketagihan. Jika kedatangan guru atau dosen dirindukan siswa, berarti kita sukses membangun buduya literasi. Jadi, kuncinya pada kata “rindu.” Rindu itu suasana yang ditandai ingin bertemu. Jika sudah bertemu ingin dekat, ingin menyentuh, berkomunikasi, dan yang lainnya.
Tugas saya sesungguhnya tidak mengajar sastra, melainkan: Pertama, pekerjaan saya adalah untuk mengajar siswa agar mampu memahami sastra. Kedua, tugas saya adalah untuk mengajarkan mereka bagaimana mengakses, memahami, dan menciptakan sastra dengan patokan membaca dan menulis sebagai sebuah keterampilan dan kemudian memastikan bahwa keterampilan mereka berkembang. Memang, pengalaman saya bekerja sebagai guru dan dosen spesialis sastra di beberapa lembaga, adalah mencoba berbagi pengalaman.
Agar budaya literasi rindu sastra tumbuh subur, pembelajaran sastra sebaiknya bukan model "kertas memerintah." Sebagai guru sastra memiliki tugas mulia yaitu: (1) memupuk jiwa seni berolah sastra yang manis, (2) berani merangkul siswa/mahasiswa yang sering ragu, (3) merangsang pikiran atau ide kita dengan menkitik-kitik inderanya. Akhirnya Cronin (2014:52-53) mengusulkan beberapa langkah penguatan pembelajaran sastra yang mampu mendorong budaya literasi, yaitu:
1) Pengulangan Perhatikan jika ide-ide, kata-kata, dan / atau gambar diulang baik pada kata itu maupun kata-kata serupa.
2) Perlu diperhatikan ketika penulis sastra memberikan suatu benda dan / atau karakterisasi seseorang.
3) informasi langsung apa yang dikatakan penulis sastra tentang karakter?
4) Dialog apa saja yang melukiskan karakter untuk menunjukkan siapa dia atau dia siapa?
5) Actions apa yang lakukan untuk menunjukkan siapa dia atau dia?
6) Pikiran / perasaan apa yang menunjukkan siapa dia atau dia?
7) Reputasi karakter lain yang perlu dianalisis?
8) Interaksi bagaimana yang meuliskan sebuah karakter penting?
Penjelasan tersebut menandai bahwa budaya literasi itu dibentuk oleh karakter pula lewat sastra. Sastra banyak menawarkan budaya literasi yang semestinya dipahami. Dari pembahasan budaya literasi, dapat diketengahkan bahwa definisi literasi selalu berevolusi sesuai dengan tantangan pada zamanya. Jika dulu definisi literasi adalah kemampuan membaca dan menulis, kini literasi pada zaman sekarang literasi adalah (1) praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik, (2) praktik mengerti dan memahami perubahan alam/lingkungan.
Lingkungan yang paling dekat dengan siswa adalah sekolah. Konteks budaya yang dibangun tentu terkait dengan karakter di sekolah. Bila seorang siswa sudah peduli bacaan, sampai peduli lingkungan bersih, menghargai budaya ramah lingkungan, sukses budaya literasi. Hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis diringkas dalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Dalam konteks ini, sastra menjadi wahana strategis untuk menghaluskan budi manusia agar berbudaya literasi humanis.
D. Budaya Literasi lewat Imersi Sastra
Imersi adalah aktivitas olah sastra dengan cara mencelupkan diri. Belajar sastra itu bukan seperti melihat orang berenang, melainkan ikut berenang. Bersastra sejajar dengan berbudaya literasi. Bersastra artinya berolah sastra. Orang yang gemar berolah sastra akan memupuk budaya literasi. Hal ini juka diakui Langer (1997, hlm.1) dari Universitas di Albany, State University of New York, bahwa banyak memberikan kajian tentang literasi melalui sastra. Dari kajian itu dapat dinyatakan bahwa karya sastra dapat menyemaikan budaya literasi. Budaya literasi adalah suasana yang benar-benar humanis.
Sastra adalah media efektif menyemaikan budaya literasi. Menurut Langer (1997:1), sejak tahun 1987, melalui pekerjaan sehari-harinya di Pusat Penelitian Nasional Sastra Pengajaran dan Belajar ternyata sastra dapat membuat siswa: (1) bijaksana, (2) lebih nalar, dan (3) literasi yang lebih tinggi. Ketiga hal itu tanda-tanda orang terpuji. Bijak adalah budaya yang humanis. Nalar adalah tanda orang berbudaya cerdas. Literasi adalah orang yang paham, mampu mendengar, membaca, dan menulis. Budaya humanis adalah bagian dari literasi, yaitu pemikiran orang cerdas emosionalnya.
Sepertinya kita terus-menerus diingatkan dalam pers populer, kita hidup dalam waktu yang semakin go internasional. Semakin banyak siswa di seluruh Amerika, serta Indonesia, berada di sekolah dengan teman sekelas dari berbagai budaya, yang berbicara berbagai bahasa. Terlalu sering, siswa, khususnya di kalangan miskin disebut minoritas, menghadapi keberhasilan yang terbatas dalam melakukan sekolah, baik dalam bahasa pertama mereka, atau dalam bahasa Inggris. Keadaan ini sering mengganggu proses budaya literasi. Jangankan membaca sastra, orang miskin sering buku teks saja tidak mampu membeli.
Saya sebagai pendidik sastra, sering mengajak siswa atau mahasiswa mendengar, membaca, dan menulis sebagai wujud literasi. Bahkan seringkali pembelajaran sastra saya kemas dalam bentuk seni pertunjukan. Melalui pertunjukan sastra pendidikan keaksaraan (budaya literasi) akan lebih efektif untuk populasi yang semakin beragam.
Menurut pengakuan Langer (1997, hlm.2) pada tahun-tahun sebelumnya, dia bekerja secara kolaboratif di perkotaan dan sekolah pinggiran kota, khususnya di kelas monolingual mainstream. Dari studi ini dia melihat bahwa sastra dapat menjadi cara yang sangat penting bagi siswa untuk merefleksikan kehidupan mereka. Refleksi hidup itulah sebuah praktik literasi. Mereka belajar sastra dan bahasa untuk terlibat dalam kegiatan melek huruf. Ketika siswa membaca sastra, ada "cakrawala kemungkinan" datang ke pikiran, memindahkan mereka untuk merenungkan dan menafsirkan ide-ide yang berprospek masa depan. Di dalamnya siswa dapat mengajukan pertanyaan, mengenali masalah, mencari penyebab dan solusi, dan membuat koneksi.
Lewat membaca sastra, mereka mengeksplorasi berbagai perspektif dan membayangkan skenario. Jenis berpikir adalah di jantung pikiran melek aksara. Dalam kerjasama erat dengan guru, kami mampu menggambarkan fitur "kelas bercorak ekologis" yang mendukung siswa untuk terlibat dalam pemahaman sastra yang kaya nila. Belajar sastra dengan memperhatikan lingkungannya, akan semakin mudah siswa memahami ekologis. Halitu berarti belajar sastra akan mengarahkann Buku saya, Envisioning Sastra (Langer, 1997), menyediaka siswa berbudaya literasi ekologis.
Dalam beberapa tahun terakhir, kami telah mulai fokus pada kelas bahasa dan budaya yang beragam siswa. Cara belajar sastra dapat mendukung siswa mengenal budaya keaksaraan. Dari waktu ke waktu siswa semakin meningkat budaya keaksaraan (Jiminez, 1994; Langer, 1997). Setiap siswa memiliki gudang sastra potensial. Sastra yang memuat cerita agama, budaya, keluarga, atau persahabatan cerita, tradisi, atau pengetahuan - cerita formal atau informal ternyata banyak menarik minat. Lewat variasi kandungan karya sastra siswa dapat belajar yang dapat memperluas penggunaan keterampilan dan strategi yang terlibat dalam keaksaraan.
Kami mulai penelitian ini dengan beberapa asumsi yang mendasari tentang literasi dan sastra. Keterkaitan literasi dengan sastra berkisar pada asumsi-asumsi. Asumsi ini meliputi: (1) pembelajaran keaksaraan tergantung pada penggunaan dan bentuk keaksaraan bahwa orang-orang khususnya budaya dan tradisi sosial dianggap berharga. Dengan demikian, koneksi ke masyarakat sangat penting, (2) pembelajar bahasa kedua menggunakan pengetahuan mereka tentang bahasa pertama mereka dan budaya (serta mereka kedua) untuk membantu mereka memahami dan berkomunikasi, (3) Siswa belajar terbaik ketika mereka terlibat (mencelup) dalam kegiatan penuh bukannya latihan, kegiatan yang mereka sendiri menemukan bermakna. Ketika siswa terlibat dalam kegiatan keaksaraan tersebut, dengan dukungan dari orang lain, mereka akhirnya belajar bagaimana "melakukan melek" sendiri, (4) Siswa belajar terbaik dengan mengintegrasikan pengetahuan baru ke dalam apa yang telah mereka ketahui, dan keterampilan baru ke dalam rutinitas mereka sudah tahu bagaimana melakukan. Kedua pembelajar bahasa mengenal beberapa bahasa mereka sendiri dan konvensi, dan beberapa cara untuk membuat mereka bekerja, (5) Karena itu peran apa yang mereka ketahui dan siapa mereka, lewat baca sastra adalah sangat mengundang konteks untuk belajar baik bahasa kedua dan melek huruf.
Melalui kerja kolaboratif dengan sejumlah guru dan siswa di sekolah-sekolah perkotaan, kita dieksplorasi kegiatan dan pendekatan untuk instruksi keaksaraan yang secara aktif melibatkan para siswa dalam "melek melalui literatur." Para guru berharap untuk mengembangkan kegiatan yang melibatkan siswa mereka dalam pembelajaran keaksaraan dan kami berharap untuk mempelajari cara-cara di mana peristiwa-peristiwa kelas, interaksi, dan pembelajaran mempengaruhi pembelajaran keaksaraan. karya terbaik.
Untuk memperoleh pemahaman tentang budaya literasi masyarakat di mana sekolah ada, pembelajaran sastra harus memberikan pengalaman budaya. Untuk itu pembelajaran sastra yang mendukung literasi dilakukan dengan langkah-langkah: (1) Pelajari cerita. Diskusikan cerita favorit dengan orang-orang dirumah (sebagian besar siswa tinggal dalam kelompok keluarga). Mereka bisa menjadi cerita nenek atau orang tua atau bibi atau paman diberitahu ketika anda masih muda; yang anda pernah mendengar mengatakan beberapa kali tentang negara atau keluarga; yang telah anda mendengar atau mengatakan dengan teman-teman anda; (2) Disediakan tipe catatan untuk mengawetkan memori ketika akan memberikan ulasan. (3) Bila anda siap, kirim ke "kelompok yang menulis cerita" untuk umpan balik. (4) Merevisi dan menceritakan kembali sampai dan agar orang lain merasa benar-benar mendengar. (5) Bila anda siap, menulis dalam bahasa pilihan anda. (6) Dapatkan umpan balik dari grup anda. Merumuskan kembali dan mendapatkan umpan balik sesering yang diperlukan. (7) Terjemahkan ke bahasa lainnya.
Setiap langkah, siswa perlu diingatkan untuk melakukan semua yang mereka bisa laksanakan sendiri, dan untuk terus mencari bantuan dan umpan balik ketika mereka pikir mungkin bisa secara tulus dapat membantu. Beberapa cerita, kata-kata, atau fitur linguistik lain bisa dicari sendiri. Pembelajaran sastra perlu guru yang membantu berdasarkan tahap penulisan dan siswa jenis keahlian yang merasa dibutuhkan. Para guru mengajar siswa dengan beberapa panduan untuk digunakan dalam meninjau cerita mereka sendiri juga seperti ketika bekerja sebagai editor pada pekerjaan siswa lain memuat beberapa pertanyaan: (1) Apakah ada sesuatu yang hilang yang perlu ditambahkan? (2) Apakah ada sesuatu yang membingungkan yang perlu dibuat lebih jelas? (3) Apakah ada yang telah dikatakan lebih dari sekali dan perlu dihapus? (4) Apakah ada sesuatu yang perlu dikembangkan lebih untuk memahami lebih baik?
Sadar atau tidak, sastra butuh pencelupan diri. Belajar sastra yang hanya kulit-kulit juga kurang mendukung budaya literasi. Budaya literasi itu sebuah target pembiasaan. Itulah sebabnya guru yang baik adalah yang bekerja secara professional. Untuk itu, komunikasi dan keaksaraan sangat penting untuk sukses belajar di kurikulum. Guru yang efektif boleh juga mengadopsi pendekatan yang seimbang untuk mengajar membaca karya sastra. Yang lebih penting guru sastra harus menjadi motivator dan falisitator. Jika di Australia setiap siswa diwajibkan menjadi semakin akrab dengan kurikulum baru tentu perlu dicontoh. Dalam tugas penilaian dan selama masuk laboratorium sastra, pengajaran keaksaraan yang efektif yang berarti disampaikan secara holistik dan merespon tingkat beragam anak-anak dari pemahaman dan kebutuhan.
Semua aspek pengembangan literasi yang erat terjalin dengan lingkungan optimal mendukung semua kemampuan yang relevan daripada terfokus pada satu bidang keterampilan. Pengajaran sastra yang efektif menghindari image sempit keaksaraan. Kinerja pada keterampilan yang terisolasi belum tentu menghasilkan kemampuan atau disposisi tentang membaca dan menulis dalam cara yang berarti di dunia nyata. Ketika keaksaraan dilihat melalui lensa sosial budaya, pendekatan pengajaran menekankan konstruksi makna melalui partisipasi aktif anak akan membawa ke situasi belajar yang menyenangkan.
Cerita hewan tergolong memberikan umpan menuju budaya literasi. Cerita laba-laba sudah sangat dikenal. Ini adalah cerita yang menarik, karena ditulis dari perspektif seorang laba-laba, yang sangat ingin 'milik' dan menjadi seseorang hewan peliharaan. Dia sangat pintar, dia cerdik beradaptasi dan banyak keterampilan, meskipun dari keluarga adalah penakut. Berbagi buku sastra dapat digunakan jika kandungannya dapat menanamkan benih untuk menjelajahi habitat hewan.
Daftar Rujukan
Cronin, Mariam Karis. 2014. The Common Core of Literacy and Literature. National Council of Teachers of English, All right reserves. Used wit permission
Endraswara, Suwardi. 2016. “Literasi Sastra Merambah Istana Impian”. Banten: Bahan seminar dan pelantikan HISKI Komisariat Banten. Kamis, 3 Maret.
Keefe, Elizabeth B. and Susan R. Copeland. 2011. “What Is Literacy? The Power of a Definition”, University of New Mexico: Research & Practice for Persons with Severe Disabilities, Vol. 36, No. 3Y4, 92–99.
Langer, Judith A. 1997. “Literacy Acquisition Through Literature”. National Research Center on English Learning & Achievement University at Albany. State University of New York, 1400 Washington Avenue, Albany, New York 12222, Report Series 7.11.
Sumber: Makalah Seminar Nasional Kesastraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...