“Hukum menjadi senjata bagi ketamakan!”, tulis Frederic Batiat, seorang politisi borjuis Prancis abad 19. Bastiat menujukan satire itu kepada kaum sosialis yang memanfaatkan posisinya di parlemen untuk merampas secara legal milik kaum borjuis/kapitalis melalui hukum atas dalih misi filantropisnya menciptakan kesetaraan.
Bagi Bastiat, perampasan legal (legal plunder) melalui cukai, tarif, subsidi, upah minimum dan redistribusi tanah merupakan modus ketamakan kaum sosialis yang terjadi karena mentalitas arogan pembuat hukum. Modus itu juga dianggap sebagai sarana yang lebih mudah untuk mendapatkan kekayaan dari pada kerja dan produksi (Bastiat, 1850).
Namun bila Bastiat hidup hari ini, ia akan melihat bahwa yang menggunakan hukum sebagai alat perampasan legal itu bukan lagi kaum sosialis, melainkan kaum kapitalis yang mengendalikan parlemen untuk mendapatkan laba atas nama pembangunan.
Kali ini modusnya dengan merampas hak rakyat atas nama pembangunan melalui hukum negara untuk memperkuat penguasaan sumber daya pada segelintir pemodal.
RUU Pengadaan Tanah
RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan yang saat ini tengah dibahas oleh DPR mengindikasikan bagaimana hukum dikendalikan oleh modal sebagai alat ketamakan sekaligus perampasan.
RUU yang merupakan metamorfosa dari Perpres No. 36/2005 dan Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum tersebut setidaknya mengandung dua persoalan pokok. Pertama, ia membajak makna ‘pembangunan’ dan ‘kepentingan umum’ sedemikian rupa dengan memasukan pengadaan tanah untuk kepentingan swasta sebagai bagian dari pengadaan tanah untuk pembangunan.
Pembajakan itu kian kentara ketika melihat bagian 3 dalam RUU tersebut yang mengatur tentang ‘pengadaan tanah untuk kepentingan swasta’ (draf versi desember 2010). Siapa gerangan yang memasukan pengadaan tanah untuk usaha swasta sebagai bagian dari RUU tersebut?
Kedua, RUU tersebut ‘merampas’ hak rakyat atas tanah. Hak rakyat atas tanah sebagaimana dijamin di dalam konstitusi diputarbalikan menjadi kewajiban. Rakyat diwajibkan melepaskan tanahnya pada saat pengadaan tanah untuk kepentingan umum (Pasal 6, draf versi desember 2010).
Putarbalik hak menjadi kewajiban itu meruntuhkan doktrin kontrak sosial sebagai dasar berdirinya suatu negara dalam ajaran John Locke dan Montesquieu. Dalam kontrak sosial, rakyat bersepakat menyerahkan kuasa kepada pemerintah untuk melindungi hak-hak mereka. Artinya hak berada pada tangan rakyat dan kewajiban berada pada tangan pemerintah, bukan sebaliknya sebagaimana rumusan dalam RUU tersebut.
Ketidakadilan Agraria
Selain dua persoalan di atas, RUU tersebut hendaknya juga diletakan dalam realitas pengalokasian ruang. Sejumlah data menunjukan ketidakadilan pengalokasian ruang atau ketidakadilan agraria di negeri ini. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan 56 persen aset (properti, tanah, dan perkebunan) dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia (Kompas, 30/10/2010).
61% dataran Indonesia adalah wilayah hutan yang secara hukum akses masyarakat dibatasi terhadapnya. Hal ini pula yang acap menyebabkan kriminalisasi terhadap masyarakat yang sejak lama hidup di dalam dan sekitar hutan sebab keberadaan mereka illegal dihadapan rezim kehutanan.
Chalid Muhammad (Kompas, 30/10/2010) pernah mengemukakan bahwa Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengkalkulasi 35 persen daratan Indonesia sudah dialokasikan pemerintah untuk industri pertambangan. Sawit Watch menghitung 9,4 juta hektar tanah telah dipergunakan untuk perkebunan besar hingga Juni 2010 dan akan mencapai 26,7 juta hektar pada 2020. Luas itu setara dengan tanah yang dikuasai oleh 53,4 juta petani miskin jika setiap petani memiliki tanah 0,5 hektar.
Dalam kondisi ketimpangan demikian, bila RUU pengadaan tanah untuk pembangunan disahkan oleh DPR maka pemerintah dan swasta akan menjadi semakin mudah ‘merampas’ tanah rakyat.
Rakyat yang menolak memberikan tanahnya akan dicap sebagai ‘anti-pembangunan’ sebagaimana kita alami pada masa Orde Baru. Perlawanan mempertahankan hak oleh rakyat akan berujung kriminalisasi dan pelanggaran HAM (Kompas, 10/3).
Antitesis
Pengadaan tanah untuk pembangunan bukannya tidak penting, tapi pengutamaan rakyat sebagai pelopor pembangunan tidak kalah pentingnya. Oleh karena itu, segala ‘hukum yang merampas’ hak rakyat untuk menjadi agen pembangunan harus ditolak. Sebagai gantinya adalah melahirkan ‘hukum yang memberdayakan rakyat’.
Undang-undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindugan Hak Masyarakat Adat yang masuk dalam program legislasi nasional pemerintahan periode ini hendaknya lebih didahulukan.
Selain itu, penyelesaian konflik agraria harus jadi prioritas. Apalagi BPN sudah menargetkan penyelesaian 2.791 kasus pertanahan untuk tahun 2011 sebagaimana disampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR (14/3).
Menyelesaikan terlebih dahulu konflik yang ada akan lebih berguna dari pada memproduksi undang-undang yang akan menjadi sumber konflik baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...