Oleh: Yalta Jalinus
Abstrak
Suku Anak Dalam adalah masyarakat suku terasing yang hidup dan berkembang di Provinsi Jambi. Semenjak ratusan tahun yang lalu mereka hidup secara tradisional dengan berburu binatang liar, seperti babi hutan, ular, rusa dan sebagainya. Pemeritahan Provinsi Jambi berupaya untuk mengentaskan suku Anak Dalam dari kondisi keterasingan, baik sosial maupun budaya, serta lingkungan tempat tinggalnya.
Mereka berangsur-angsur meninggalkan tradisi lama dan mulai beradaptasi dengan masyarakat di sekitar mereka. Perubahan pola hidup Suku Anak Dalam yang telah membaur dengan masyarakat di sekitarnya tentu saja mengubah pola kehidupan, kebudayaan, dan bahasa yang mereka gunakan. Mereka harus beralih menggunakan bahasa Melayu Jambi, kondisi ini menyebabkan Bahasa Suku Anak Dalam dianggap berpotensi terancam punah karena secara sosial dan ekonomi tergolong minoritas serta mendapat tekanan yang cukup besar dari bahasa mayoritas, yakni bahasa Melayu Jambi.
Kata kunci: Bahasa Suku Anak Dalam, kepunahan, dan pelestarian
Abstract
Anakdalam’s tribe is an isolated tribe that lives in Jambi’s Province. They lived traditionally by hunting wild animals, such as pigs, snakes, deers, and etc. Jambi’s administration attempted to fight againts the isolation of Anakdalam’s tribe socially and culturally in order to make them settle outpermanently. They gradually leave their old traditon and begin to adapt with their vinicity. This condition made changes of their living style, culture, and language. In daily speaking, they gradually leave out their language and have to use bahasa Melayu Jambi to interact with the locals. The language of Anakdalam’s tribe is potentially threatened to extinct because it gets pressure from the major language bahasa Melayu Jambi. In addition, it is minor and isolated language.
Keywords: Language of Anakdalam’s tribe, extinction, and preseverance
1. Pendahuluan
Masyarakat terasing adalah masyarakat yang secara budaya hidup dengan sistem budaya yang berlainan dengan sistem budaya sekitarnya karena itu masyarakat terasing tidak selau sama dengan masyarakat terpencil secara geografik. Meskipun mereka sudah banyak terlibat dengan dunia luar, mereka masih mengacu pada kebudayaan yang mereka warisi dari nenek moyangnya serta belum siap menerima kebudayaan yang lebih luas Rachmadi (dalam Muntholib, 1995) menjelaskan bahwa ciri-ciri umum dari masyarakat terasing, adalah (1) hidup berkelana; (2) sumber penghidupannya tergantung pada alam (berburu, meramu, menangkap ikan dan bercocok tanam secara berpindah-pindah); (3) perilaku hidup sehat masih sangat rendah; (4) busana masih sangat sederhana atau tidak berpakaian sama sekali; (6) permukiman tidak layak huni; (7) kepercayaan mereka masih animisme dan dinamisme; dan (8) bersikap tertutup.
Suku Anak Dalam (Kubu) adalah suku yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing yang hidup dan berkembang di wilayah Provinsi Jambi. Menurut data Depsos Provinsi Jambi (2007) Suku Anak Dalam berjumlah 6.308 KK atau 26.977 jiwa yang tersebar di delapan kabupaten di Provinsi Jambi. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.733 KK atau 7204 jiwa belum sama sekali mendapat pembinaan. Mereka mendiami kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, antara lain di Sungai Sorenggom, Sungai Terap, Sungai Kejasung Besar, Kejasung Kecil, Sungai Makekal, dan Sungai Sukalado. Kawasan Cagar Biosfer Bukit Dua belas terletak di antara lima kabupaten, yaitu Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo, dan Batanghari. Kawasan yang didiami oleh suku Anak Dalam ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Batang Tabir sebelah barat, Batang Tembesi sebelah timur, Batang Hari sebelah Utara. Kawasan ini juga terletak di antara beberapa jalur perhubungan, yaitu lintas tengah Sumatra, lintas tengah pengubung antara Bangko-Muarabungo-Jambi, dan lintas timur Sumatra. Jadi, kawasan ini terletak di tengah-tengah Provinsi Jambi.
Suku Anak Dalam mempunyai ciri fisik berupa perawakan rata-rata sedang, kuli sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan dewasa makan sirih, dan bau badannya yang menyengat karena jarang mandi. Dalam penampilan sehari-hari mereka memakai pakaian cawat (kancut) untuk laki-laki yang terbuat dari kain sarung, kalau mereka keluar dari lingkungan rimba ada yang sudah memakai baju biasa namun tetap pakai cawat. Perempuan Suku Anak Dalam memakai kain sarung yang dikaitkan sampai dada.
Kehidupan secara tradisional dilakukan Suku Anak Dalam sejak ratusan tahun yang lalu, antara lain berburu binatang seperti babi hutan, ular, tikus, rusa, kancil, labi-labi dan sebagainya. Di samping itu mereka juga menyadap getah jelutung, dan getah jernang serta mengambil madu lebah dari pohon sialang. Dalam mengelolah sumberdaya hutan Suku Anak Dalam mengenal wilayah peruntukan, seperti adanya tanah peranakan, rimba, ladang, sesap, belukar, dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai sistem suksesi sumberdaya hutan mereka. Hutan yang disebut ladang diolah sebagai ladang yang ditanami dengan ubi kayu, padi ladang, dan ubi jalar.
Suku Anak Dalam mempunyai tradisi berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang mereka sebut dengan mlangun. Mereka pindah dari suatu tempat ke tempat yang lainnya bila terjadi kematian, ditimpa musibah seperti wabah penyakit, bencana alam, dan kekurangan makanan atau kematian. Tradisi itu mereka lakukan karena menganggap tempat tersebut adalah sial, di samping mereka ingin melupakan kesedihan yang menimpa mereka.
Pemberdayaan komunitas adat terpencil yang dilakukan oleh Pemeritahan Provinsi Jambi untuk mengentaskan komunitas Suku Anak Dalam dari kondisi keterasingan fisik, sosial budaya, kehidupan dan penghidupan, serta lingkungan mereka. Membina dan mengembangkan Suku Anak Dalam agar terangkat dari keterisolasian dan bisa hidup setara dengan masyarakat lain, secara berangsur-angsur pemerintah mendirikan tempat permukiman bagi mereka, didirikannya fasilitas umum dan sosial, dan sebagian dari mereka sudah mulai menetap di satu tempat dan berangsur pula meninggalkan tradisi lama serta mulai beradaptasi dengan masyarakat di sekitar.
Perobahan pola hidup Suku Anak Dalam yang telah membaur dengan masyarakat di sekitarnya tentu saja telah mengubah kehidupan mereka, dulunya mereka sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sekarang mereka telah menetap di satu tempat pemukiman membuka lahan pertanian, seperti bertanam karet, pisang, tebu, dan ubi kayu. Bertukarnya pola hidup tersebut tentu saja berimplikasi terhadap sistem budaya dan bahasa yang mereka gunakan sejak ratusan tahun yang lalu.
Dalam interaksi sosial antarkelompok maupun dengan penduduk lokal, suku Anak Dalam beralih menggunakan bahasa daerah setempat, yaitu bahasa Melayu Jambi. Dewasa ini bahasa Kubu makin terpojok atau tersisih karena berbagai faktor. Faktor penyebabnya, antara lain karena bahasa Melayu Jambi adalah bahasa mayoritas yang digunakan oleh masyarakat di Provinsi Jambi untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Situasi multilingual ini memungkinkan bahasa Melayu Jambi turut berperan dalam interaksi sosial masyarakatnya terutama ketika komunikasi berlangsung dalam bidang ekonomi, dan kehidupan sosial. Misalnya ketika Suku Anak Dalam menjual maupun membeli hasil bumi dengan penduduk di sekitar, anak-anak yang dulunya bekerja membantu orang tuanya di hutan-hutan, sekarang mulai bersekolah dan berinteraksi dengan teman-temannya yang mayoritas menggunakan bahasa Melayu Jambi.
Berkurangnya penggunaan bahasa Kubu oleh penutur bahasa Kubu baik dalam komunikasi antarsesama penutur Kubu maupun dengan penutur di luar komunitas tutur mereka disebabkan kemajuan zaman, pengaruh budaya dari luar komunitas tempat tinggal mereka serta membaiknya hubungan eksternal masyarakat Kubu dengan warga di sekitar mereka. Kondisi keterisolasian Suku Anak Dalam memaksa mereka tidak menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi dengan penduduk lokal apa bila mereka mempunyai keperluan, seperti menjual hasil hutan dan membeli kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Sehingga mereka harus beralih menggunakan bahasa Melayu Jambi, seperti yang dituturkan oleh warga Suku Anak Dalam kepada penulis, ”Sayo dah banyak lupo dengan bahaso asli karena jarang becakap pakai bahaso Rimbo, tapi ketiko sayo babahasa Melayu bahaso asli sayo tu keluar’’. Sebaliknya penduduk yang bertempat tinggal di sekitar mereka tidak bisa menggunakan bahasa Suku Anak Dalam ketika berinteraksi dengan mereka. Sebagai bahasa mayoritas di Provinsi Jambi, pada umumnya penduduk di Provinsi Jambi menggunakan bahasa Melayu Jambi dalam komunikasi lisan sehari-hari.
Sumber: Jurnal Mlangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...